Hari ini
tiba waktunya punggungku harus menempel di kursi penumpang bus selama tiga jam.
Ya, dihitung juga dengan berhentinya kira-kira segitulah, kalau lebih ya
disimpan saja. Ah lupakan. Aku berjalan menapaki jalanan yang sepi bagai jalan
ini milik diriku sendiri. Bukan, ini bukan kisah seram, melainkan keadaan yang
mendung sangat kelam membuat orang enggan keluar melewati jalan ini. Beda
dengan diriku, aku rela malampauinya demi melepas kerinduan dengan orang-orang
tercinta. Sudah sampai kakiku melewati jalan itu, langsung angkutan umum
menyapaku dan aku naik itu demi sampai di terminal Landungsari, Malang. Di
situlah aku berlabuh menunggu bus selanjutnya parkir untuk keberangkatan. Nah,
nah, nah, mendung mulai memberi notifikasi akan datang hujan. Air jatuh sedikit
demi sedikit. Air itu tahu rasanya jatuh makanya dia jatuh perlahan ke bumi
agar tidak sakit. Seorang kernek menghampiriku menyuruhku naik bus yang
menurutku hanya ada satu di situ, Puspa Indah, tapi desain warnanya hitam.
Padahal yang lain berwarna biru.
"Yaah,
sepi, cuma ada bapak-bapak. Pasti lama ini berangkatnya. Nunggu penuh.
Pasti," aku pun berkata pada diri sendiri.
Ku pilih
kursi nomor dua di belakang sopir di dekat jendela. Nah, nah, nah, ada rasa
yang tidak nyaman. Aku bertahan beberapa menit, lima belas menit hingga banyak
orang masuk mengambil duduk. Namun, aku tetap tidak nyaman. Akhirnya, aku
pindah di kursi nomor tiga dan waktu itu masih kosong, dekat jendela. Itulah
isyarat alam kepadaku, bila sudah tidak nyaman dengan sesuatu yang terus
dipertahankan, pindahlah dengan sesuatu yang lain yang lebih nyaman.
"Mbak,
permisi mau tanya, ini bus kok bangus banget ya? Apa ini mahal? Atau ini patas?
Tadi aku baca di sana AC tarif biasa. Emang ada tarif yang luar biasa?"
mendadak aku kaget dengan pertanyaan orang yang di belakangku.
"Oh
jangan khawatir mbak, semua bus sama tarifnya kok kalau ke Kediri. Beda lagi
Jombang itu kayaknya ada yang patas," aku menjawab dengan wajah sok tahu.
Aku memang
tidak sabaran. Waktu baru berjalan 45 menit saja sudah ingin terjun keluar
mencari pelarian bus yang lebih berangkat dahulu. Aku bertanya pada kernek
pukul berapa ini akan berangkat. Padahal, bus sudah penuh. Belum sih, ada yang
belum terisi, tiga kursi. Kernek menjawab kalau bus akan berangkat sekitar
pukul setengah 4 yang artinya jam 15.30 an atau kalau lebih ya disimpan saja.
Aku terkaget mendengar kata setengah 4, wah, masih lama itu artinya. Aku bisa
tidur dulu sampai mimpi ke pulau dewata. Ya, mimpi. Biarkan hanya mimpi yang
penting tidak terlalu gila mengharap yang belum pasti. Pada waktu yang belum
setengah 4 sopir sudah naik dan bus jalan. Wah masih parkir. Yasudahlah aku
tunggu walau hati rasanya ingin marah-marah, teriak, dan banting bus ini kalau
bisa. Namun, keadaan itu seakan terbalik saat aku lihat pangeran yang mungkin
jatuh dari langit masul dari pintu depan. Aku menganga, melongo seperti orang
bodoh. Dia meminta izin untuk duduk di sampingku. Wajahku yang kucel dan sebal
waktu itu masih menerjemahkan dan melihat kanan, kiri, belakang tempat mana
yang masih kosong. Ya, ternyata hanya punyaku.
"Aku
Deon, namamu?" aku merasa ini sangat cepat, perubahan keadaan suasana
hatiku. Aku masih bingung menjawab apa. Aku takut kalau menjawab nanti bau
mulutku tidak enak, bagaimana nanti kalau dia pingsan. Apa hanya aku yang
merasakan seperti ini? Ahsudahlah.
"Aku
Livia," beginikah rasanya? Beginikah kelihatannya? Aku merasa ada yang
nyaman saat kami berdua tidak sengaja saling tatap. Sumpah bukan mendramatis,
ini seperti di sinetron-sinetron.
"Turun
mana?" aku tidak konsentrasi menjawab pertanyaanya karena beralih ke
ketampanan wajahnya. Sumpah ini seperti pangeran. Namun, basa-basinya sangat
basi. Biarlah yang penting sudah ada perantara untuk mengobrol.
"Oh aku
turun Kediri, kamu mana?" aku sok tidak peduli. Padahal, aku sangat
mengharap aku bisa berbicara banyak layaknya sudah akrab.
"Oh
sama dong kalau gitu. Eh omong-omong kuliah ya?" aku menjawab iya dan dia
juga anak kuliah. Tidak terasa bus sudah keluar dari terminal. Aku tidak
menghiraukan sekitarku apakah ada pemandangan menarik atau tidak. Aku masih
mengagumi Deon. Sumpah kalau kalian benar-benar melihat ini orang, dunia tidak
akan berarti bagi kalian.
Kernek atau
kondektur sudah mulai beraksi seakan-akan dia yang berkuasa di tempat ini. Dia
memintai uang dari penumpang-penumpang dan jumlahnya sesuai jurusan. Dia
menarik uangku dan uang Deon. Deon terkaget katanya aku turun di Kediri kok
hanya bayar sedikit. Aku menjawab aku bukan turun di terminal, tapi di sebuah
perempatan. Lalu, dia juga membahas di mana dia turun, di perempatan juga, tapi
lebih dahulu dia daripada aku. Lumayan dekat hingga membuat dia terheran dan
bertanya-tanya kok sepertinya kenal.
"Oalah
kamu turun di situ. Nah kita tetangga desa dong," aku hanya menjawab kalau
di situ rumah tanteku bukan rumahku. Rumahku ada di Kediri. Dia hanya bilang O
saja.
Lama
kelamaan kami kehabisan bahan obrolan. Kami diam dan tidak saling bicara. Aku
lebih memilih pemandangan gunung. Itulah yang membuat aku terkaget. Betapa
sudah jauh perjalanan yang aku tempuh. Sudah sampai sini? Begitu kataku dalam
hati. Lekuk-lekuk jalanan dan tikungan membuat Deon mengantuk. Dia terpejam
seperti di timang-timang. Namun, aku heran dengan diriku mengapa aku tidak
mengantuk? Padahal, biasanya saat pulang kampung pasti aku tidur dari awal
sampai akhir.
Ini beda
sekali, sangat beda. Entahlah. Mendadak aku tertawa melihat Deon tidur, aneh.
Kakinya bisa melebar ke mana-mana hingga mulai mendekat denganku. Lalu, dia
ditegur bapak-bapak yang tidak dapat tempat duduk. Di situ dia mengatakan kalau
kakinya menghalangi bapak itu berdiri. Aku mengok ke arah bapak saat Deon
terkaget dan terbangun dalam tidurnya. Wah ternyata di sebelah bapak sampai ke
belakang banyak sekali penumpang yang berdiri. Aku sampai tidak sadar, apakah
ini namanya dialihkan perhatianku.
"Deon,
kamu aneh-aneh saja bisa sampai di situ kakimu," dia hanya tertawa bersama
rasa heran juga.
"Aku
nggak tahu Liv, semua terjadi begitu saja," aku mengangguk saja.
Iya memang
semua terjadi begitu saja, seperti aku saat ini ada di sebelahmu. Apa hanya aku
yang merasakan hal ini. Rasa apa ini? Aku tidak tahu. Suka? Kalau suka pada
pandangan pertama mungkinkah? Ah aku tidak tahu, yang jelas ini hanya kupendam
sendiri. Deon kembali terpejam. Aku mengatakan sesuatu dalam hati, dasar
laki-laki, tidur saja kerjaannya. Ini orang tidak tertarik apa berbincang
denganku? Aku merasa tidak ada rasa lelah yang menempel padaku. Padahal,
biasanya akan ada rasa cepat turun dari bus karena duduk terlalu lama.
"Waduh
Deon, apa-apaan dia ini?" aku melihat dia, kepalanya sudah tidak sengaja
bersandar di pundakku. Awalnya tidak menempel hanya ada jarak 10 senti.
Akhirnya menempel di pundakku. Aku heran aku ingin menyingkirkannya, tapi takut
dia terkaget bangun lagi. Aku biarkan saja, tapi benar-benar tidak ada rasa
lelah di pundakku. Aku mulai menyingkirkan perlahan agar tidak dikira aku
nyaman dengan dia.
"Wah
Liv maaf. Sorry. Aku nggak sengaja," aku bertanya padanya kalau tidur
memang tidak bisa diam? Dia hanya menjawan iya.
Dua jam
berlalu kami mengobrol tentang kesukaan kami tinggal di Malang. Dia serentak
mengatakan aku merugi karena saat ditanya sudah pernah ke mana saja. Aku hanya
menggeleng. Dua tahun di Malang, aku ditanya, sudah pernah ke Jatim Park?
Paralayang? Selecta? BNS? Aku hanya menggeleng. Rumah makan mana yang pernah
aku hinggapi menongkrong dengan teman-teman, aku menggeleng lagi. Pasar parkiran?
Sengkaling? Cafe-cafe yang ada di Malang? Semua aku menggeleng kecuali Matos
dan Bingso. Bahkan dia tertawa terbahak-bahak hingga mukaku memerah saat dia
bertanya pernahkan aku ke alun-alun Malang? Aku menggeleng.
"Super
sekali kamu Livia, kamu semedi di kos? Atau kamu susah cari teman untuk ke
mana-mana? Atau bagaimana sih? Aku nggak habis pikir jalan otakmu. Rugi tahu.
Jangan serius-seriuslah kuliah. Santai, Malang itu santai."
"Bukan
gitu Deon. Kamu nggak ngerti. Ah pokoknya aku belum pernah deh. Kalau ada
kesempatan aku sempatin deh."
"Ih
sumpah aku yakin pasti ada kesempatan deh Liv. Tinggal niat kamu aja. Ah kalau
saja aku masih semester awal. Aku ajak kamu sama teman-temanku kalau mau. Ini mungkin
aku dua bulan lagi sudah wisuda."
Aku
menyayangkan hal itu juga. Aku tidak tahu harus bilang bagaimana pada Deon.
Bukan karena kesempatan, aku hanya memikirkan keluargaku. Di sana mereka
berjuang demi aku. Di sini aku senang-senang. Namun, aku juga ingin cari
pengalaman. Aku mendapat beberapa rupiah dari usahaku sebenarnya aku rencanakan
untuk hal itu. Lalu, membeli baju untuk aku pakai di sini daripada aku membawa
dari kampung berkoper-koper, lebih baik beli di sini yang murah. Namun, saat
pulang kampung dan lihat keadaan rumah, orang tuaku, aku jadi memilih menabung
uang itu. Bahkan pernah aku berikan ke mereka semua.Sudahlah, jalan ada
sendiri. Biarkan aku mengalir. Aku tidak tahu menabrak apakah saat aliran
sangat deras dan mengayuh dengan apakah saat alirannya tenang. Pasti aku akan
sampai pada ujungnya.
"Deon,
kamu jangan ketawa terus! Lebih baik kamu tidur," aku juga merasa
mengantuk, tapi aku susah tidur memikirkan perkataan Deon. Aku? Apakah aku
rugi? Ah tidak juga.
Aku tidak
sengaja telah mengantuk. Padahal, sudah sampai Kasembon yang memungkinkan aku
akan sampai? Aku terlelap dan tidak tahu menahu apa yang terjadi. Aku sedikit
tenang hingga tangan menggenggam kepalaku yang membuatku kaget. Aku terbangun,
masih beberapa menit aku tidur. Doen yang memegang kepalaku. Dia bilang aku
terlalu mendekat padanya dia akan menyingkirkannya seperti yang kulakukan
padanya.
Ada suara
ribut-ribut di belakang. Aku penasaran. Aku dan Deon menengok ke belakang. Eh
ternyata orang yang tadi bertanya padaku tarif bus yang ribut dengan kernek.
Dia protes mengapa bus tidak lewat memutar seperti biasa. Kernek menjawab
karena sudah sore dia lewat jalan pintas.
"Loh
pak harusnya kan lewat Ngoro, aku mau turun di situ," dia penuh emosi
meluapkan segalanya yang sedilit tidak jelas suaranya.
"Loh
mbaknya tadi bilang mau turun Kediri. Pas kami data nggak ada yang turun di
situ ya kami lewat jalan pintas. Hayo gimana?" dia kalah. Perempuan itu
memang bilang turun di Kediri. Entah tujuannya apa yang jelas menurutku dia
salah.
"Terus
gimana ini? Apa aku nanti lapor?"
"Loh
mbak ini gimana to? Gini mbak jangan bingung. Santai, tenang. Nantin sampai
Kediri, mbak oper bis saja. Beres kan? Lain kali bilang saja tujuan mbak, nggak
perlu malu. Kalau nggak tahu ya tanya."
Perempuan itu
tetap tidak terima dengan keputusan kondektur. Namun, apalah daya dia hanya
penumpang, bukan sopir. Dia termenung di belakang kemudian kembali ke tempat
duduknya. Dia bercerita kepadaku kalau dia memang tidak sengaja bilang Kediri.
Dia pikir daripada bayar kurang mending lebih, tapi sampai. Namun, nasi sudah
menjadi bubur.
"Sudah
mbak nggak papa, buat pelajaran saja," dia tidak menggubris aku. Aku juga
tidak peduli pada akhirnya.
Aku melihat
Deon tertidur lagi. Namun, teleponnya berdering hingga membuat dia bangun. Foto
seorang perempuan cantik yang meneleponnya. Aku yakin itu kekasihnya. Dia tidak
menjawab kemudian di telepon lagi. Aku tidak ingin bertanya mengapa tidak
dijawab. Aku tahu itu urusan dia.
Deon segera
menelepon seseorang yang lain dan mengatakan dia sampai di Pare. Waktu terus
berjalan hingga tempat tujuan semakin dekat. Aku seakan tidak rela melepas
kebersamaan ini. Bukan aku yang telah jatuh hati, bukan. Aku hanya senang
mendapat teman baru saja. Deon sudah mulai menemui titik di mana bus berhenti
untuk menurunkan dia. Di perempatan yang dulu pernah aku jatuh dari motor di
tempat itu. Aku teringat masa lalu, tapi tidak penting. Aku hanya melongo
ternyata dia turun di sini.
"Liv,
bye."
Dia hanya
memandangku dan mengatakan hal itu. Dia tidak ada kata-kata lain. Perasaanku
berkata seakan tidak rela dia turun terlebih dahulu. Di tengah keramaian
penumpang bus, hanya aku yang merasa sepi saat ini. Aku tidak tahu mengapa. Ini
bukan pertanda apa-apa, aku mengatakan pada diriku sendiri kalau ini bukan
apa-apa. Namun, aku berdiri dan melangkah. Giliranku untuk turun.
Aku masih
teringat dengan dia. Mengapa dia tidak meminta nomor teleponku atau yang lain?
Mengapa aku juga tidak begitu? Aku tidak tahu. Dia seperti penenang, betapa
tidak? Tiga jam serasa hanya setengah jam saja. Aku tidak merasakan lelah. Aku
menancapkan kata-kata pada diriku bahwa dia bukan siapa-siapa. Entahlah aku
harus bagaimana. Aku hanya ingin mendapat teman baru. Bahkan baru pertama kenal
saja bisa seakrab ini. Dia bisa menertawaiku karena kekunoanku dan mengatakanku
hanya semedi di kos. Sudah. Aku sudahi saja perasaan ini. Lupa. Aku akan
lupakan.
Baca juga yang lain ya:
Puisi (Diam Tanda Tanya)
Gambar-gambar Motivasi
Cerpen Molly
Baca juga yang lain ya:
Puisi (Diam Tanda Tanya)
Gambar-gambar Motivasi
Cerpen Molly
Tidak ada komentar:
Posting Komentar