lilaemaliza

Rabu, 16 November 2016

Tak Sesexi Dia

       Siang ini seperti biasa Uki menyiapkan diri untuk kembali ke tempat perantauannya. Waktu tidak pernah diajak kompromi kalau sudah menunggu bus biru langganannya. Sebenarnya ada bus putih yang bisa mengantarnya lebih cepat, tapi harganya lebih mahal sedikit. Otot-ototnya sudah berteriak memanggil Uki yang dari tadi tidak segera dijemput. Seperti pucuk dicinta ulam pun tiba. Kalau ibarat dia melempar bola ke dinding ada imbasnya, bisa jadi tertangkap waktu memantul atau bisa jadi terkena jidat waktu memantul.
       Sudah itu saja basa-basinya. Intinya hari ini Uki sangat sial karena dia tidak dapat tempat duduk. Ototnya semakin berteriak hingga ingin demo menuntut penistaan kesehatan. Apa jadinya kalau perjalanan 3 jam tidak bisa duduk? Yasudahlah. Bus seperti biasa memasukkan penumpan walau sudah penuh. Yang Uki ingat, penumpangnya ada yang naik, berdiri, di tengah pintu. Dia ingat karena waktu itu yang di tengah pintu rambutnya agak seperti mengembang. Dia laki-laki, tampangnya lumayan kalau bagi Uki yang pas-pasan. Rambutnya nyangkut di antara ranting-ranting pohon. Lucu kan? Anggap saja lucu. Untung dia tidak ikut nyangkut di pohon. Mungkin dia pakai sampo yang bahannya dari madu membuat rambut, lembu berkilau walau ikal. Jadi, kesangkut bisa terlepas sendiri. Seakan disisir pakai jari sudah cukup.
       Sebenarnya Uki ini anak perempuan yang wajahnya pas-pasan bila disandingkan Maudy Ayunda. Begitu si katanya, kenapa Maudy Ayunda? Entahlah, dia sangat suka sekali dengannya. Bahkan dia pernah bercita-cita mengoperasi plastik wajahnya seperti dia, tapi itu mustahil. Nanti malah menjadi sinetron baru, kembar tapi palsu.
       Oh ya, ini kenapa jadi basa-basi lagi? Intinya Uki sangat sial, yang pertama sudah tahu kan? Dia berdiri dari 1 jam yang lalu. Namun, untung saja ada bapak-bapak bangku belakang, paling pojok, kanan, deretan sopir, turun di terminal terdekat. Lega rasanya. Demo para otot-otot kaku tebayar sudah. Jadi, di tengah perjalanan ada anak laki-laki, lumayan, tapi sepertinya dia masih imut-imut bau almamater baru, masih mahasiswa baru. Berdiri tepat di depannya, tempat dia berdiri tadi. Dia bawa tas, kamu kira tasnya itu besar? Ya, sangat besar, mungkin diisi adik keponakan Uki yang nakalnya tidak tertolong dunia akhirat bisa itu, adik Uki masih kelas TK A.
       "Maaf mas, ditaruh bagasi saja ya tasnya?"
       "Tidak usah pak, merepotkan."
       Bapak kernet seperti tidak peduli lagi. Namun, aku pikir ini anak malah merepotkan kalau tasnya ditaruh di sini. Bapak kernet memang tugasnya seperti itu, bukan merepotkan. Dasar anak ingusan, ganteng, tapi sedikit tidak jelas. Yang Uki tahu nama anak itu waktu dipanggil temannya, 'ndre'. Jadi, dia menyimpulkan namanya adalah Andre. Bisa ditebak bukan? Pasti bukan Ndrea, Ndrenata, Gendre, atau apalah. Tasnya mulai menutupi kaki Uki yang lemah. Dia hanya minta maaf. Uki bilang dalam hati, baru saja dia dapat rezeki, malah dapat sial lagi.
      Uki mencoba berbincang dengan mbak-mbak sebelah kanan dan kirinya. Cara itu mengalihkannya dari rasa mengeluh dan lain-lain. Awalnya canggung menjadi agak akrab. Mereka bisa tertawa bersama dan kadang saling menertawakan.
       "Uki, lihat tu cowok. Kalau diam terus pas bus belok nanti ekspresi kelabakannya pasti membuatmu ingin menamparnya."
       "Jeni, kamu pikir cuma mas-mas itu. Lihat mbak yang berjilbab biru panjang itu. Dia berdiri, tapi masih sempetnya merem ngantuk. Nanti kalau dia terkantuk ekspresinya lucu, matanya kayak sulit dibuka. Lihat! Lihat itu! Hahahahahah."
       Mereka masih tertawa karena mengamati yang lain yang berdiri. Nata, anak sebelah kanan Uki hanya ikut tertawa karena mungkin dia tidak ada bahan untuk menertawakan yang lain, mending begitu daripada garing kalau dipaksa. Namun, wajah Nata memang terlihat polos-polos diam begitulah. Kalian tahu waktu mereka bertiga sudah akrab? Nata mengeluarkan kresek berwarna hitam. Uki dan Jeni kira dia mau muntah karena mabuk perjalanan. Eh bukan, ternyata Nata bawa makanan sebanyak kresek merah itu. Tidak penuh memang, tapi jumlahnya cukup banyak kalau 2 jam perjalanan pasti belum habis.
       "Dua, ikut," bapak kernet memberi isyyarat pada sopir kalau di depan ada dua penumpang yang akan naik. Waktu itu masuk daerah dataran tinggi yang jalannya berkelok-kelok.
       Uki mulai tertawa tanpa sebab. Dia bisa membayangkan dengan jelas apa yang akan terjadi. Bukan peramal, hanya membayangkan, makanya dia tertawa sedikti terbahak. Tiba-tiba dua penumpang yang baru masuk membentak Uki karena dikira dia menertawakan mereka. Uki menggeleng-geleng sampai dibela Jeni dan Nata. Padahal, dia memang menertawakan mbak-mbak yang baru naik. (Maaf) karena badanya memiliki berat badan berlebih.
       Sial Uki tadi belum teratasi karena kakinya tambah kesemutan karena ditindih tas milik laki-laki tadi. Kini, kakunya diletakkan di atas tas itu tanpa sepengetahuan pemiliknya. Uki mencolek Jeni dan membisikkan sesuatu yang membuat mereka tertawa. Di sana, perempuan dua tadi kualahan menahan dirinya saat bus melewati jalan berkelok-kelok. Jadi, rasanya seperti badannya menggelundung-gelundung di dalam bus, menabrak semua yang di dekatnya. Ada, Uki ingat saat itu ada anak laki-laki kurus di dekat mbak-mbak tadi. Dia sampai berkata ingin cepat turun tanpa alasan yang jelas. Dia naik bersama ketiga temannya. Dia berbisik pada temannya, tidak terdengar memang. Namun, Uki bisa menyimpulkan dengan isyaratnya dia membicarakan dua perempuan sexi tadi yang menyiksa dirinya di jalan berkelok-kelok.
       Semua orang tertawa. Dua perempuan itu tidak lagi galak karena mereka sendiri juga seakan menertawakan diri mereka sendiri. Mereka menggelundung tanpa arah di dalam bus sampai bus memasuki kota. Kota itu tidak lagi banyak kelokan. Ada, tapi tidak banyak.
       "Pak, pertigaan depan."
Laki-laki kurus itu berteriak pada temannya untuk 'ayo cepat'. Namun, lucunya teman-temannya yang ingin siap-siap menuju pintu belakang bingung. Keadaan bus penuh, sangat penuh, banyak yang berdiri, dan dia berdiri di tengah, sedangkan di belakangnya ada dua perempuan tadi. Otomatis jalan untuk keluar tertutup keduaperempuan tadi. Sialnya, saat teman-teman yang ingin turun minta jalan, dua perempuan sexi itu tidak mau turun dulu. Jadi, dia mundur-mundur sampai salah satu pantat sexi itu terkena wajah Uki yang sedang agak merunduk bermain HP.
       "Waow."
       Uki, Jeni, dan Nata sempat berkata waow bebarengan. Lalu, mereka tertawa terbahak-bahak. Uki menyumpahi mbak-mbak tadi semoga sexi dan cepat kurus agar tidak mengenai wajahnya lagi. Susah, masih tetap susah teman-temannya yang mau turun minta jalan. Akhrirnya keduanya turun dahulu. Mereka tidak sengaja menurunkan kaki kiri di tengah pintu bersamaan. Jadi saat itu badan mereka berdua menyangkut di pintu. Hal itu menggundang gelak tawa para penumpang. Yang depan kepo-kepo sampai berdiri ingin melihat. Sopir yang berwajah garang saja juga ikut tertawa.
       "Cepat, pret," walaupun sopir tertawa, dia menyuruh bapak kernet suruh cepat.
       "Sabar bos. Sexi."
       Pada akhirnya memang bisa diatasi, tapi ya butuh waktu yang lama. Mereka sudah seperti tidak peduli malu. Mereka juga ikut tertawa dengan penumpang lain. Itu menurut Uki, sial yang tidak begitu sial. Dia hanya merasa terhina saja terkena pantatnya, tapi yasudahlah. Memang sudah terjadi, mau bagaimana lagi.
       "Aku ingin membalasnya, tapi aku tak sesexi dia," Uki berbisik pada Jeni dan Nata. Mereka memang sudah seperti akrab. Padahal, baru tadi dipertemukan.
      Semua sudah semakin tenang. Tertawaan juga sudah reda. Uki memasang earphone dan mendengarkan lagu kesukaannya. Dia tertidur hingga Jeni membangunkan dan memberitahu bahwa mereka sudah sampai terminal. Rasa sial dan lelah sudah terbayarkan. Pengalaman dan kenangan semakin bertambah. Bahkan dari orang-orang yang baru dia kenal saja mendapat pelajaran berharga. Tertawa tidak harus menertawkan, tapi tertawa bersama. Penyebab tawa bukan berarti dihina, tapi karena dia sangat diperhatikan karena menghibur.
       Uki mau mengabadikan semua itu, tapi apalah daya HP dia tidak memiliki kamera yang bagus. Uki tidak tahu dengan Jeni dan Nata, sepertinya mereka juga tidak merekam, tidak tahu dengan yang lain. Yang jelas, saat ini Uki sudah tidak pernah bertemu mereka lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar