lilaemaliza

Senin, 21 November 2016

Terbaik Apa Terbalik?

       Begini ceritanya, pakai basa basi dulu atau tidak ya enaknya? Kalau kalian tidak usah pakai basa basi ya baca cerita ini karena kalian saja sudah basi hidupnya. Oke sekarang mulai di mana letak terbaik dan terbaliknya hari ini. Pertama, hari-hari sebelumnya aku mengajak teman-teman yang dekat denganku untuk mengunjungi tempat yang menurutku menarik di kota keduaku. Mereka tidak bisa karena tidak ada waktu. Oh ya sebelumnya aku memberi kalian info lagi bahwa kalau aku berharap bisa bersama-sama mereka ternyata tidak bisa. Yasudah aku sudah tidak berharap sesuatu yang tidak mungkin. Kalian harus bisa tidak peduli ya setelah kepedulian kalian tidak diperhatikan karena itu perbuatan sangat menantang.
       Sudah deh, sudah deh sekarang mulai ceritanya ya. Setelah hari-hari sebelumnya berlalu, aku seperti sudah diujung rasa menyerah dan tanpa harapan. sepertinya sudah tidak ada harapan hidup. Halah apa-apa aku ini? *lebay*. Namun, itu berubah saat negara api menyerang. Ada kawanku yang lama tidak bertemu. Dia mengajakku ke sebuah tempat yang belum pernah aku mendengarnya. Bukan karena tempat itu baru, hanya saja karena aku tidak pernah ke sana, saking noraknya diriku di hadapan temanku. Halah apa lagi aku ini? Dia mengajakku rencananya di hari Minggu. Kalian tahu biasanya hari itu aku melakukan apa? Ya, aku pulang ke kota tercinta, kota kelahiranku. Namun, kali ini tidak, sudah aku iyakan saja daripada sudah tidak ada harpan hidup lagi *lebay*.
       Hari ini hari jumat. By the way, kalau kalian tidak tanya jangan menggerutu saja. Hari Minggu ada acara, hari sabtunya yang belum. Yasudah diam saja di tempat tidur daripada  memaksakan kehendak. Eh, hari Sabtu datang dan hari Jumat sudah jadi masa lalu. Siapa bilang orang kalau cinta itu bisa bertahan lama? Aku saja cinta dengan hari jumat kemarin, bisa-bisanya dia meninggalkanku dan menyuruh hari Sabtu yang menemani. Dia sudah menjadi masa laluku sekarang. Sekarang hari Sabtu,tapi aku ingin bercerita tentang Jumat dulu karena aku masih sangat mencintainya.
       Begini jelasnya. Hari Jumat ini temanku yang tidak terduga-duga menghampiri istanan terbaikku.
       "Aaaaaaaaaaaa!!!!" begitu jeritku ketika dia mengagetkanku.
       Aku tidak pernah menyangka bagaimana kami bisa sedekat ini. Dia berkata bahea hanya ingin mampir melepas rindu dan penat. Rindu ini memang semua lepas bahkan penat yang menumpuk-numpuk malah hilang seketika. Datang lagi temanku yang lain. Bukan datang sih, tapi aku undang ke istanaku. Dia memang banyak bicara, tapi tidak menyebalkan. Semuanya menyenangkan kali ini. Namun, semakin lama semakin mereka berkata kalau ada kelelahan. Seperti di film-film kartun, tiba-tiba seakan di samping kepalaku ada nola lampu berwarna emas menyala *ting* 'aku ada ide'.
       "Gimana kalau kita ke roti panggang?"
       Roti panggang ini tempat di mana orang-orang foto bersama berkedok beli makanan. Tempatnya indah. Penerangannya pas. Pealayannya juga tidak menyebalkan. Mereka tersenyum terus seolah-olah ada air terjun di giginya sampai tidak kering.
       "Aku males," kawanku  mengeluh saat kuajak.
       "Aku mager," kawanku yang banyak bicara.
       "Ayo aku bayar!" siapa tahu kalau gratis bisa mereka mau. Ternyata mereka kasihan padaku. Memang sih kalau wajah-wajah tidak punya uang begini tidak meyakinkan kalau berkata, 'ayo aku bayar!'
       Mereka mau ke roti panggang, tapi patungan. Yay! Aku kira semua berjalan lancar. Aku tidak menyangka setelah selesai mandi, hujan jatuh tanpa komando. Mengapa hujan harus jatuh? Mungkin di langit sana dia tidak berpegangan pada yang lain. Jadi, jatuh deh ke bumi, kasihan. Kalau jatuhnya seperti jatuh cinta pasti rasanya berbunga-bunga. Namun, kalau jatuh seperti jatuh dari tangga itu sangat menyakitkan. *Setengah jam kemudian*
       "Hoi hujan reda!!" hanya aku yang bersemangat. Mereka tetap saja bermalas-malasan.
       "Yok langsung cabut!"
       Tanpa pikir panjang, aku raih baju kesukaanku warna biru. Memang sudah pudar alias lebus. Warnanya memang sudah tidak biru sempurna.
       Di tempat roti panggang kami hanya fokus berfoto-foto. Jadi, kalau makanan sampe anyep itu sudah biasa. Cerita yang paling parah dan tidak kuat menahan tawa saat kami meminta difoto oleh salah satu pelayan. Semua pengunjung yang makan langsung bangkit memandangi kami semua. Mereka pikir ada apa kok kami bisik-bisik dengan pelayan. Karena kami merasa malu, beberapa jepretan selesai lalu kami pilih pulang.
       "Woi kalian memalukan!"
       "Hei hei apa pedulimu? Tapi asyik kan?"
Aku memikir dua kali karena mereka benar, hal gila itu kadang-kadang juga mengasyikkan. Namun mendadak leherku gatal ternyata ada makhluk kecil yang menyengat.
       "Hai guys. Aku mau kasih tahu sesuatu, tapi jangan tertawa ya?" Mereka diam dan memperhatikanku. Mereka konsentrasi penuh seperti ingin mendapat informasi yang serius.
       "Apa?"
       "Eh guys, ini kaosku terbalik loh, kalian tahu?" mereka hanya diam dan berpaling.
       "Kok kalian nggak ketawa?"
       "Katanya nggaj boleh ketawa ya kita diam," salah satu temanku menjawab.
       Hahaha. Suara tawa kami pecah. Kami tertawa di sepanjang jalan pulang karena saat itu jalan kaki. Jadi kami asyik saja tertawa bersama-sama. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa kaos ini terbalik. Aku hanya bisa menahan tawa dan malu. Aku masih berpikir terus dan terus. Coba deh kalian bayangkan. Betapa tidak malu kalau kalian memakai baju terbalik saat kamu di antara kerumunan berbaju kekinian. Berfoto-foto bersama. Dan akhirnya baru sadar bajumu terbalik. Ini terbalik di waktu yang terbaik. Aku berhenti berpikir, masih saja otak ini berpikir malu sambil melihat hasil foto-foto kami bertiga. Memang sedikit tidak terlihat terbakik. Namun inilah pertanyaannya. Terbaik apa terbalik? Hahaha.

Minggu, 20 November 2016

Tips-tips Memotivasi Diri Sendiri

Pernahkah kalian merasa hidup ini tidak adil dan ingin mengakhiri hidup saja daripada disiksa ketidakadilan? Jangan khawatir kalian tidak sendirian. Di mana-mana orang pasti pernah merasakan hal itu, walaupun seorang yang hidupnya pernah damai sekalipun. Namun, kalian harus ingat risiko bunuh diri dan apalah yang berhubungan dengan itu. Jadi, ada tips nih buat kalian para pejuang pembangkit semangat. Silakan mencoba!

1. cobalah untuk mengerti kalau yang kalian alami itu tidak hanya kalian yang mengalami
2. tanamlah dalam lubuk hati yang terdalam kalian pasti bisa melewati semua ini
3. pilihlah untuk bahagia ya
4. sadarilah semua tidak mungkin melebihi kemampuanmu
5. carilah teman yang bisa mengerti dan ajak dia untuk memahami masalahmu kemudian menyelesaikan bersama
6. usahakan mencurahkan segalanya dengan orang yang lebih dewasa. dewasa bukan berarti memiliki umur lebih banyak, tapi pengalaman lebih banyak
7. tulis keinginanmu setelah masalah sudah mereda dan kamu termotivasi untuk bangkit
8. Tuhan mengatur segalanya. apabila kamu taat, semua akan baik-baik saja
9. jangan pernah berpikir buruk pada jauh ke depan, menghadapi semua kemungkinan, boleh, tapi jangan sampai terlarut
10. kekuatan terbesar untuk termotivasi ada pada diri kamu sendiri
 
gambar by: dimoji

Rabu, 16 November 2016

Tak Sesexi Dia

       Siang ini seperti biasa Uki menyiapkan diri untuk kembali ke tempat perantauannya. Waktu tidak pernah diajak kompromi kalau sudah menunggu bus biru langganannya. Sebenarnya ada bus putih yang bisa mengantarnya lebih cepat, tapi harganya lebih mahal sedikit. Otot-ototnya sudah berteriak memanggil Uki yang dari tadi tidak segera dijemput. Seperti pucuk dicinta ulam pun tiba. Kalau ibarat dia melempar bola ke dinding ada imbasnya, bisa jadi tertangkap waktu memantul atau bisa jadi terkena jidat waktu memantul.
       Sudah itu saja basa-basinya. Intinya hari ini Uki sangat sial karena dia tidak dapat tempat duduk. Ototnya semakin berteriak hingga ingin demo menuntut penistaan kesehatan. Apa jadinya kalau perjalanan 3 jam tidak bisa duduk? Yasudahlah. Bus seperti biasa memasukkan penumpan walau sudah penuh. Yang Uki ingat, penumpangnya ada yang naik, berdiri, di tengah pintu. Dia ingat karena waktu itu yang di tengah pintu rambutnya agak seperti mengembang. Dia laki-laki, tampangnya lumayan kalau bagi Uki yang pas-pasan. Rambutnya nyangkut di antara ranting-ranting pohon. Lucu kan? Anggap saja lucu. Untung dia tidak ikut nyangkut di pohon. Mungkin dia pakai sampo yang bahannya dari madu membuat rambut, lembu berkilau walau ikal. Jadi, kesangkut bisa terlepas sendiri. Seakan disisir pakai jari sudah cukup.
       Sebenarnya Uki ini anak perempuan yang wajahnya pas-pasan bila disandingkan Maudy Ayunda. Begitu si katanya, kenapa Maudy Ayunda? Entahlah, dia sangat suka sekali dengannya. Bahkan dia pernah bercita-cita mengoperasi plastik wajahnya seperti dia, tapi itu mustahil. Nanti malah menjadi sinetron baru, kembar tapi palsu.
       Oh ya, ini kenapa jadi basa-basi lagi? Intinya Uki sangat sial, yang pertama sudah tahu kan? Dia berdiri dari 1 jam yang lalu. Namun, untung saja ada bapak-bapak bangku belakang, paling pojok, kanan, deretan sopir, turun di terminal terdekat. Lega rasanya. Demo para otot-otot kaku tebayar sudah. Jadi, di tengah perjalanan ada anak laki-laki, lumayan, tapi sepertinya dia masih imut-imut bau almamater baru, masih mahasiswa baru. Berdiri tepat di depannya, tempat dia berdiri tadi. Dia bawa tas, kamu kira tasnya itu besar? Ya, sangat besar, mungkin diisi adik keponakan Uki yang nakalnya tidak tertolong dunia akhirat bisa itu, adik Uki masih kelas TK A.
       "Maaf mas, ditaruh bagasi saja ya tasnya?"
       "Tidak usah pak, merepotkan."
       Bapak kernet seperti tidak peduli lagi. Namun, aku pikir ini anak malah merepotkan kalau tasnya ditaruh di sini. Bapak kernet memang tugasnya seperti itu, bukan merepotkan. Dasar anak ingusan, ganteng, tapi sedikit tidak jelas. Yang Uki tahu nama anak itu waktu dipanggil temannya, 'ndre'. Jadi, dia menyimpulkan namanya adalah Andre. Bisa ditebak bukan? Pasti bukan Ndrea, Ndrenata, Gendre, atau apalah. Tasnya mulai menutupi kaki Uki yang lemah. Dia hanya minta maaf. Uki bilang dalam hati, baru saja dia dapat rezeki, malah dapat sial lagi.
      Uki mencoba berbincang dengan mbak-mbak sebelah kanan dan kirinya. Cara itu mengalihkannya dari rasa mengeluh dan lain-lain. Awalnya canggung menjadi agak akrab. Mereka bisa tertawa bersama dan kadang saling menertawakan.
       "Uki, lihat tu cowok. Kalau diam terus pas bus belok nanti ekspresi kelabakannya pasti membuatmu ingin menamparnya."
       "Jeni, kamu pikir cuma mas-mas itu. Lihat mbak yang berjilbab biru panjang itu. Dia berdiri, tapi masih sempetnya merem ngantuk. Nanti kalau dia terkantuk ekspresinya lucu, matanya kayak sulit dibuka. Lihat! Lihat itu! Hahahahahah."
       Mereka masih tertawa karena mengamati yang lain yang berdiri. Nata, anak sebelah kanan Uki hanya ikut tertawa karena mungkin dia tidak ada bahan untuk menertawakan yang lain, mending begitu daripada garing kalau dipaksa. Namun, wajah Nata memang terlihat polos-polos diam begitulah. Kalian tahu waktu mereka bertiga sudah akrab? Nata mengeluarkan kresek berwarna hitam. Uki dan Jeni kira dia mau muntah karena mabuk perjalanan. Eh bukan, ternyata Nata bawa makanan sebanyak kresek merah itu. Tidak penuh memang, tapi jumlahnya cukup banyak kalau 2 jam perjalanan pasti belum habis.
       "Dua, ikut," bapak kernet memberi isyyarat pada sopir kalau di depan ada dua penumpang yang akan naik. Waktu itu masuk daerah dataran tinggi yang jalannya berkelok-kelok.
       Uki mulai tertawa tanpa sebab. Dia bisa membayangkan dengan jelas apa yang akan terjadi. Bukan peramal, hanya membayangkan, makanya dia tertawa sedikti terbahak. Tiba-tiba dua penumpang yang baru masuk membentak Uki karena dikira dia menertawakan mereka. Uki menggeleng-geleng sampai dibela Jeni dan Nata. Padahal, dia memang menertawakan mbak-mbak yang baru naik. (Maaf) karena badanya memiliki berat badan berlebih.
       Sial Uki tadi belum teratasi karena kakinya tambah kesemutan karena ditindih tas milik laki-laki tadi. Kini, kakunya diletakkan di atas tas itu tanpa sepengetahuan pemiliknya. Uki mencolek Jeni dan membisikkan sesuatu yang membuat mereka tertawa. Di sana, perempuan dua tadi kualahan menahan dirinya saat bus melewati jalan berkelok-kelok. Jadi, rasanya seperti badannya menggelundung-gelundung di dalam bus, menabrak semua yang di dekatnya. Ada, Uki ingat saat itu ada anak laki-laki kurus di dekat mbak-mbak tadi. Dia sampai berkata ingin cepat turun tanpa alasan yang jelas. Dia naik bersama ketiga temannya. Dia berbisik pada temannya, tidak terdengar memang. Namun, Uki bisa menyimpulkan dengan isyaratnya dia membicarakan dua perempuan sexi tadi yang menyiksa dirinya di jalan berkelok-kelok.
       Semua orang tertawa. Dua perempuan itu tidak lagi galak karena mereka sendiri juga seakan menertawakan diri mereka sendiri. Mereka menggelundung tanpa arah di dalam bus sampai bus memasuki kota. Kota itu tidak lagi banyak kelokan. Ada, tapi tidak banyak.
       "Pak, pertigaan depan."
Laki-laki kurus itu berteriak pada temannya untuk 'ayo cepat'. Namun, lucunya teman-temannya yang ingin siap-siap menuju pintu belakang bingung. Keadaan bus penuh, sangat penuh, banyak yang berdiri, dan dia berdiri di tengah, sedangkan di belakangnya ada dua perempuan tadi. Otomatis jalan untuk keluar tertutup keduaperempuan tadi. Sialnya, saat teman-teman yang ingin turun minta jalan, dua perempuan sexi itu tidak mau turun dulu. Jadi, dia mundur-mundur sampai salah satu pantat sexi itu terkena wajah Uki yang sedang agak merunduk bermain HP.
       "Waow."
       Uki, Jeni, dan Nata sempat berkata waow bebarengan. Lalu, mereka tertawa terbahak-bahak. Uki menyumpahi mbak-mbak tadi semoga sexi dan cepat kurus agar tidak mengenai wajahnya lagi. Susah, masih tetap susah teman-temannya yang mau turun minta jalan. Akhrirnya keduanya turun dahulu. Mereka tidak sengaja menurunkan kaki kiri di tengah pintu bersamaan. Jadi saat itu badan mereka berdua menyangkut di pintu. Hal itu menggundang gelak tawa para penumpang. Yang depan kepo-kepo sampai berdiri ingin melihat. Sopir yang berwajah garang saja juga ikut tertawa.
       "Cepat, pret," walaupun sopir tertawa, dia menyuruh bapak kernet suruh cepat.
       "Sabar bos. Sexi."
       Pada akhirnya memang bisa diatasi, tapi ya butuh waktu yang lama. Mereka sudah seperti tidak peduli malu. Mereka juga ikut tertawa dengan penumpang lain. Itu menurut Uki, sial yang tidak begitu sial. Dia hanya merasa terhina saja terkena pantatnya, tapi yasudahlah. Memang sudah terjadi, mau bagaimana lagi.
       "Aku ingin membalasnya, tapi aku tak sesexi dia," Uki berbisik pada Jeni dan Nata. Mereka memang sudah seperti akrab. Padahal, baru tadi dipertemukan.
      Semua sudah semakin tenang. Tertawaan juga sudah reda. Uki memasang earphone dan mendengarkan lagu kesukaannya. Dia tertidur hingga Jeni membangunkan dan memberitahu bahwa mereka sudah sampai terminal. Rasa sial dan lelah sudah terbayarkan. Pengalaman dan kenangan semakin bertambah. Bahkan dari orang-orang yang baru dia kenal saja mendapat pelajaran berharga. Tertawa tidak harus menertawkan, tapi tertawa bersama. Penyebab tawa bukan berarti dihina, tapi karena dia sangat diperhatikan karena menghibur.
       Uki mau mengabadikan semua itu, tapi apalah daya HP dia tidak memiliki kamera yang bagus. Uki tidak tahu dengan Jeni dan Nata, sepertinya mereka juga tidak merekam, tidak tahu dengan yang lain. Yang jelas, saat ini Uki sudah tidak pernah bertemu mereka lagi.

Jumat, 30 September 2016

Bus Hitam Kursi Nomor Tiga



Hari ini tiba waktunya punggungku harus menempel di kursi penumpang bus selama tiga jam. Ya, dihitung juga dengan berhentinya kira-kira segitulah, kalau lebih ya disimpan saja. Ah lupakan. Aku berjalan menapaki jalanan yang sepi bagai jalan ini milik diriku sendiri. Bukan, ini bukan kisah seram, melainkan keadaan yang mendung sangat kelam membuat orang enggan keluar melewati jalan ini. Beda dengan diriku, aku rela malampauinya demi melepas kerinduan dengan orang-orang tercinta. Sudah sampai kakiku melewati jalan itu, langsung angkutan umum menyapaku dan aku naik itu demi sampai di terminal Landungsari, Malang. Di situlah aku berlabuh menunggu bus selanjutnya parkir untuk keberangkatan. Nah, nah, nah, mendung mulai memberi notifikasi akan datang hujan. Air jatuh sedikit demi sedikit. Air itu tahu rasanya jatuh makanya dia jatuh perlahan ke bumi agar tidak sakit. Seorang kernek menghampiriku menyuruhku naik bus yang menurutku hanya ada satu di situ, Puspa Indah, tapi desain warnanya hitam. Padahal yang lain berwarna biru.
"Yaah, sepi, cuma ada bapak-bapak. Pasti lama ini berangkatnya. Nunggu penuh. Pasti," aku pun berkata pada diri sendiri.
Ku pilih kursi nomor dua di belakang sopir di dekat jendela. Nah, nah, nah, ada rasa yang tidak nyaman. Aku bertahan beberapa menit, lima belas menit hingga banyak orang masuk mengambil duduk. Namun, aku tetap tidak nyaman. Akhirnya, aku pindah di kursi nomor tiga dan waktu itu masih kosong, dekat jendela. Itulah isyarat alam kepadaku, bila sudah tidak nyaman dengan sesuatu yang terus dipertahankan, pindahlah dengan sesuatu yang lain yang lebih nyaman.
"Mbak, permisi mau tanya, ini bus kok bangus banget ya? Apa ini mahal? Atau ini patas? Tadi aku baca di sana AC tarif biasa. Emang ada tarif yang luar biasa?" mendadak aku kaget dengan pertanyaan orang yang di belakangku.
"Oh jangan khawatir mbak, semua bus sama tarifnya kok kalau ke Kediri. Beda lagi Jombang itu kayaknya ada yang patas," aku menjawab dengan wajah sok tahu.
Aku memang tidak sabaran. Waktu baru berjalan 45 menit saja sudah ingin terjun keluar mencari pelarian bus yang lebih berangkat dahulu. Aku bertanya pada kernek pukul berapa ini akan berangkat. Padahal, bus sudah penuh. Belum sih, ada yang belum terisi, tiga kursi. Kernek menjawab kalau bus akan berangkat sekitar pukul setengah 4 yang artinya jam 15.30 an atau kalau lebih ya disimpan saja. Aku terkaget mendengar kata setengah 4, wah, masih lama itu artinya. Aku bisa tidur dulu sampai mimpi ke pulau dewata. Ya, mimpi. Biarkan hanya mimpi yang penting tidak terlalu gila mengharap yang belum pasti. Pada waktu yang belum setengah 4 sopir sudah naik dan bus jalan. Wah masih parkir. Yasudahlah aku tunggu walau hati rasanya ingin marah-marah, teriak, dan banting bus ini kalau bisa. Namun, keadaan itu seakan terbalik saat aku lihat pangeran yang mungkin jatuh dari langit masul dari pintu depan. Aku menganga, melongo seperti orang bodoh. Dia meminta izin untuk duduk di sampingku. Wajahku yang kucel dan sebal waktu itu masih menerjemahkan dan melihat kanan, kiri, belakang tempat mana yang masih kosong. Ya, ternyata hanya punyaku.
"Aku Deon, namamu?" aku merasa ini sangat cepat, perubahan keadaan suasana hatiku. Aku masih bingung menjawab apa. Aku takut kalau menjawab nanti bau mulutku tidak enak, bagaimana nanti kalau dia pingsan. Apa hanya aku yang merasakan seperti ini? Ahsudahlah.
"Aku Livia," beginikah rasanya? Beginikah kelihatannya? Aku merasa ada yang nyaman saat kami berdua tidak sengaja saling tatap. Sumpah bukan mendramatis, ini seperti di sinetron-sinetron.
"Turun mana?" aku tidak konsentrasi menjawab pertanyaanya karena beralih ke ketampanan wajahnya. Sumpah ini seperti pangeran. Namun, basa-basinya sangat basi. Biarlah yang penting sudah ada perantara untuk mengobrol.
"Oh aku turun Kediri, kamu mana?" aku sok tidak peduli. Padahal, aku sangat mengharap aku bisa berbicara banyak layaknya sudah akrab.
"Oh sama dong kalau gitu. Eh omong-omong kuliah ya?" aku menjawab iya dan dia juga anak kuliah. Tidak terasa bus sudah keluar dari terminal. Aku tidak menghiraukan sekitarku apakah ada pemandangan menarik atau tidak. Aku masih mengagumi Deon. Sumpah kalau kalian benar-benar melihat ini orang, dunia tidak akan berarti bagi kalian.
Kernek atau kondektur sudah mulai beraksi seakan-akan dia yang berkuasa di tempat ini. Dia memintai uang dari penumpang-penumpang dan jumlahnya sesuai jurusan. Dia menarik uangku dan uang Deon. Deon terkaget katanya aku turun di Kediri kok hanya bayar sedikit. Aku menjawab aku bukan turun di terminal, tapi di sebuah perempatan. Lalu, dia juga membahas di mana dia turun, di perempatan juga, tapi lebih dahulu dia daripada aku. Lumayan dekat hingga membuat dia terheran dan bertanya-tanya kok sepertinya kenal.
"Oalah kamu turun di situ. Nah kita tetangga desa dong," aku hanya menjawab kalau di situ rumah tanteku bukan rumahku. Rumahku ada di Kediri. Dia hanya bilang O saja.
Lama kelamaan kami kehabisan bahan obrolan. Kami diam dan tidak saling bicara. Aku lebih memilih pemandangan gunung. Itulah yang membuat aku terkaget. Betapa sudah jauh perjalanan yang aku tempuh. Sudah sampai sini? Begitu kataku dalam hati. Lekuk-lekuk jalanan dan tikungan membuat Deon mengantuk. Dia terpejam seperti di timang-timang. Namun, aku heran dengan diriku mengapa aku tidak mengantuk? Padahal, biasanya saat pulang kampung pasti aku tidur dari awal sampai akhir.
Ini beda sekali, sangat beda. Entahlah. Mendadak aku tertawa melihat Deon tidur, aneh. Kakinya bisa melebar ke mana-mana hingga mulai mendekat denganku. Lalu, dia ditegur bapak-bapak yang tidak dapat tempat duduk. Di situ dia mengatakan kalau kakinya menghalangi bapak itu berdiri. Aku mengok ke arah bapak saat Deon terkaget dan terbangun dalam tidurnya. Wah ternyata di sebelah bapak sampai ke belakang banyak sekali penumpang yang berdiri. Aku sampai tidak sadar, apakah ini namanya dialihkan perhatianku.
"Deon, kamu aneh-aneh saja bisa sampai di situ kakimu," dia hanya tertawa bersama rasa heran juga.
"Aku nggak tahu Liv, semua terjadi begitu saja," aku mengangguk saja.
Iya memang semua terjadi begitu saja, seperti aku saat ini ada di sebelahmu. Apa hanya aku yang merasakan hal ini. Rasa apa ini? Aku tidak tahu. Suka? Kalau suka pada pandangan pertama mungkinkah? Ah aku tidak tahu, yang jelas ini hanya kupendam sendiri. Deon kembali terpejam. Aku mengatakan sesuatu dalam hati, dasar laki-laki, tidur saja kerjaannya. Ini orang tidak tertarik apa berbincang denganku? Aku merasa tidak ada rasa lelah yang menempel padaku. Padahal, biasanya akan ada rasa cepat turun dari bus karena duduk terlalu lama.
"Waduh Deon, apa-apaan dia ini?" aku melihat dia, kepalanya sudah tidak sengaja bersandar di pundakku. Awalnya tidak menempel hanya ada jarak 10 senti. Akhirnya menempel di pundakku. Aku heran aku ingin menyingkirkannya, tapi takut dia terkaget bangun lagi. Aku biarkan saja, tapi benar-benar tidak ada rasa lelah di pundakku. Aku mulai menyingkirkan perlahan agar tidak dikira aku nyaman dengan dia.
"Wah Liv maaf. Sorry. Aku nggak sengaja," aku bertanya padanya kalau tidur memang tidak bisa diam? Dia hanya menjawan iya.
Dua jam berlalu kami mengobrol tentang kesukaan kami tinggal di Malang. Dia serentak mengatakan aku merugi karena saat ditanya sudah pernah ke mana saja. Aku hanya menggeleng. Dua tahun di Malang, aku ditanya, sudah pernah ke Jatim Park? Paralayang? Selecta? BNS? Aku hanya menggeleng. Rumah makan mana yang pernah aku hinggapi menongkrong dengan teman-teman, aku menggeleng lagi. Pasar parkiran? Sengkaling? Cafe-cafe yang ada di Malang? Semua aku menggeleng kecuali Matos dan Bingso. Bahkan dia tertawa terbahak-bahak hingga mukaku memerah saat dia bertanya pernahkan aku ke alun-alun Malang? Aku menggeleng.
"Super sekali kamu Livia, kamu semedi di kos? Atau kamu susah cari teman untuk ke mana-mana? Atau bagaimana sih? Aku nggak habis pikir jalan otakmu. Rugi tahu. Jangan serius-seriuslah kuliah. Santai, Malang itu santai."
"Bukan gitu Deon. Kamu nggak ngerti. Ah pokoknya aku belum pernah deh. Kalau ada kesempatan aku sempatin deh."
"Ih sumpah aku yakin pasti ada kesempatan deh Liv. Tinggal niat kamu aja. Ah kalau saja aku masih semester awal. Aku ajak kamu sama teman-temanku kalau mau. Ini mungkin aku dua bulan lagi sudah wisuda."
Aku menyayangkan hal itu juga. Aku tidak tahu harus bilang bagaimana pada Deon. Bukan karena kesempatan, aku hanya memikirkan keluargaku. Di sana mereka berjuang demi aku. Di sini aku senang-senang. Namun, aku juga ingin cari pengalaman. Aku mendapat beberapa rupiah dari usahaku sebenarnya aku rencanakan untuk hal itu. Lalu, membeli baju untuk aku pakai di sini daripada aku membawa dari kampung berkoper-koper, lebih baik beli di sini yang murah. Namun, saat pulang kampung dan lihat keadaan rumah, orang tuaku, aku jadi memilih menabung uang itu. Bahkan pernah aku berikan ke mereka semua.Sudahlah, jalan ada sendiri. Biarkan aku mengalir. Aku tidak tahu menabrak apakah saat aliran sangat deras dan mengayuh dengan apakah saat alirannya tenang. Pasti aku akan sampai pada ujungnya.
"Deon, kamu jangan ketawa terus! Lebih baik kamu tidur," aku juga merasa mengantuk, tapi aku susah tidur memikirkan perkataan Deon. Aku? Apakah aku rugi? Ah tidak juga.
Aku tidak sengaja telah mengantuk. Padahal, sudah sampai Kasembon yang memungkinkan aku akan sampai? Aku terlelap dan tidak tahu menahu apa yang terjadi. Aku sedikit tenang hingga tangan menggenggam kepalaku yang membuatku kaget. Aku terbangun, masih beberapa menit aku tidur. Doen yang memegang kepalaku. Dia bilang aku terlalu mendekat padanya dia akan menyingkirkannya seperti yang kulakukan padanya.
Ada suara ribut-ribut di belakang. Aku penasaran. Aku dan Deon menengok ke belakang. Eh ternyata orang yang tadi bertanya padaku tarif bus yang ribut dengan kernek. Dia protes mengapa bus tidak lewat memutar seperti biasa. Kernek menjawab karena sudah sore dia lewat jalan pintas.
"Loh pak harusnya kan lewat Ngoro, aku mau turun di situ," dia penuh emosi meluapkan segalanya yang sedilit tidak jelas suaranya.
"Loh mbaknya tadi bilang mau turun Kediri. Pas kami data nggak ada yang turun di situ ya kami lewat jalan pintas. Hayo gimana?" dia kalah. Perempuan itu memang bilang turun di Kediri. Entah tujuannya apa yang jelas menurutku dia salah.
"Terus gimana ini? Apa aku nanti lapor?"
"Loh mbak ini gimana to? Gini mbak jangan bingung. Santai, tenang. Nantin sampai Kediri, mbak oper bis saja. Beres kan? Lain kali bilang saja tujuan mbak, nggak perlu malu. Kalau nggak tahu ya tanya."
Perempuan itu tetap tidak terima dengan keputusan kondektur. Namun, apalah daya dia hanya penumpang, bukan sopir. Dia termenung di belakang kemudian kembali ke tempat duduknya. Dia bercerita kepadaku kalau dia memang tidak sengaja bilang Kediri. Dia pikir daripada bayar kurang mending lebih, tapi sampai. Namun, nasi sudah menjadi bubur.
"Sudah mbak nggak papa, buat pelajaran saja," dia tidak menggubris aku. Aku juga tidak peduli pada akhirnya.
Aku melihat Deon tertidur lagi. Namun, teleponnya berdering hingga membuat dia bangun. Foto seorang perempuan cantik yang meneleponnya. Aku yakin itu kekasihnya. Dia tidak menjawab kemudian di telepon lagi. Aku tidak ingin bertanya mengapa tidak dijawab. Aku tahu itu urusan dia.
Deon segera menelepon seseorang yang lain dan mengatakan dia sampai di Pare. Waktu terus berjalan hingga tempat tujuan semakin dekat. Aku seakan tidak rela melepas kebersamaan ini. Bukan aku yang telah jatuh hati, bukan. Aku hanya senang mendapat teman baru saja. Deon sudah mulai menemui titik di mana bus berhenti untuk menurunkan dia. Di perempatan yang dulu pernah aku jatuh dari motor di tempat itu. Aku teringat masa lalu, tapi tidak penting. Aku hanya melongo ternyata dia turun di sini.
"Liv, bye."
Dia hanya memandangku dan mengatakan hal itu. Dia tidak ada kata-kata lain. Perasaanku berkata seakan tidak rela dia turun terlebih dahulu. Di tengah keramaian penumpang bus, hanya aku yang merasa sepi saat ini. Aku tidak tahu mengapa. Ini bukan pertanda apa-apa, aku mengatakan pada diriku sendiri kalau ini bukan apa-apa. Namun, aku berdiri dan melangkah. Giliranku untuk turun.
Aku masih teringat dengan dia. Mengapa dia tidak meminta nomor teleponku atau yang lain? Mengapa aku juga tidak begitu? Aku tidak tahu. Dia seperti penenang, betapa tidak? Tiga jam serasa hanya setengah jam saja. Aku tidak merasakan lelah. Aku menancapkan kata-kata pada diriku bahwa dia bukan siapa-siapa. Entahlah aku harus bagaimana. Aku hanya ingin mendapat teman baru. Bahkan baru pertama kenal saja bisa seakrab ini. Dia bisa menertawaiku karena kekunoanku dan mengatakanku hanya semedi di kos. Sudah. Aku sudahi saja perasaan ini. Lupa. Aku akan lupakan.

Baca juga yang lain ya:
Puisi (Diam Tanda Tanya)
Gambar-gambar Motivasi
Cerpen Molly  

Kamis, 29 September 2016

Hidup adalah Pilihan



Hai kalian-kalian yang masih hidup. Sadar kan kalau hidup itu adalah pilihan. Pilihan kalian untuk hidup ada pada diri kalian sendiri. Kali ini aku akan bercerita, saat ini pilihan hidupku jatuh pada satu kata “bahagia”. Ya, aku memilih bahagia dalam hidup. Bertahun-tahun yang aku lalui tidak pernah sebahagia ini. Betapa tidak? Aku menjalani hidup dengan penuh syukur dan ikhlas. Suatu ketika satu masalah timbul saat umurku masih sangat muda, aku berusaha tegar tetapi tidak bisa karena waktu itu memang sangat-sangat terpukul dan bebannya sangat berat. Kedua, masalah timbul saat umurku juga maih muda, sangat muda, belum bisa membedakan mana perbuatan baik dan tidak baik. Semua masalah muncul beriringan dengan renggang waktu yang cukup singkat dan tidak dapat diperhitungkan. Mulai dari masalah orang tua, masalah dengan saudara, masalah dengan tetangga, masalah dengan diri sendiri, masalah dengan teman atau sahabat, masalah dengan musuh, dan yang terakhir dan paling panjang penyiksaan yang aku alami adalah masalah dengan seseorang yang aku kagumi dan masalah dengan alam. Dalam cerita perjalanan pilihan hidup ini ada sebuah pukulan yang membuatku tersadar. Ya, aku menamainya “baru kusadari”. Seseorang yang aku kagumi terus aku kagumi, tetapi tidak pernah membuatku bahagia. Seseorang yang terus menerus menyakitiku malah membuatku bertahan sangat lama. Alam juga begitu, aku sakit sangat sakit, jatuh berkali-kali tidak pernah bisa mengangkat diriku sendiri malah oleh alam masih saja dijatuhkan lagi, lagi, lagi hingga aku ingin menyudahi hidupku saja.
Pernah aku merasa akan mengakhiri hidupku, tetapi rasa ragu akan kematian selalu menghantui. Semua sudah pernah kusiapkan, benda tajam, racun, dan surat wasiat. Namun, semua salah, tidak itu tujuan hidupku. Pada ujung penderitaanku, yang entah sampai kapan penderitaan ini menempel pada diriku, aku mendapat kata-kata dari seorang pengajar di universitas, dia berkata bahwa hidup itu adalah pilihan. Ya, aku tahu, dari dulu wacana “hidup adalah pilihan” sudah menjadi hal yang dijadikan seperti peribahasa. Aku tidak tahu artinya dahulu, walaupun sudah kujadikan status dan lain-lain. Pada saat ini aku baru tahu artinya, ya, pilihan. Aku memilih bahagia walau sampai detik ini penderitaan masih saja menghantui diriku. Saat orang yang aku kagumi mengacuhkanku, aku berkata pada diriku sendiri, “ya memang aku bisanya seperti ini. Aku sudah berusaha, aku sadar diri bagaimana hasilnya. Kalau memang dia lebih baik dariku ya itu memang dari Tuhan. Jangan khawatir orang ada petaknya sendiri-sendiri. Bayangkan saat laptopmu rusak kalau dikoyak-koyak sendiri sampai otak dan pikiranmu hancur melihat tutorial-tutorial macam-macam tanpa ilmu itu sia-sia. Mending ke tukang servis, nah itu petak manusia. Dia di petak tukang servis, aku di petak orang yang mau servis. Sudah”.
Pada saat alam menghukumku dengan kegagalan dan kesulitan dengan caranya, aku selau bilang, “ada yang lebih tahu aku harus bagaimana, kalau aku sudah berusaha seperti yang disarankan aku akan mencoba berpikir apa yang terbaik, kalau sudah diujung aku harus gagal, ya aku akan tawakal.”
Bukan berarti tidak hanya berdiam dan bilang “yasudah”, tapi berusahalah sampai menuju ujung hingga kam seakan ingin bunuh diri saja. Itulah yang aku sebut memilih bahagia. Jadi mulai saat ini bahagia menurutku adalah syukur dan ikhlas walaupun biasanya bahagia diidentikan dengan senyuman dan tawa. Aku menangis pun bila itu aku bersyukur akan kusebut bahagia. Hidup adalah pilihan. Silakan kalian memilih pilihan hidup yang tepat. Namun, jangan lupa bahagia.