Begini ceritanya, pakai basa basi dulu atau tidak ya enaknya? Kalau kalian tidak usah pakai basa basi ya baca cerita ini karena kalian saja sudah basi hidupnya. Oke sekarang mulai di mana letak terbaik dan terbaliknya hari ini. Pertama, hari-hari sebelumnya aku mengajak teman-teman yang dekat denganku untuk mengunjungi tempat yang menurutku menarik di kota keduaku. Mereka tidak bisa karena tidak ada waktu. Oh ya sebelumnya aku memberi kalian info lagi bahwa kalau aku berharap bisa bersama-sama mereka ternyata tidak bisa. Yasudah aku sudah tidak berharap sesuatu yang tidak mungkin. Kalian harus bisa tidak peduli ya setelah kepedulian kalian tidak diperhatikan karena itu perbuatan sangat menantang.
Sudah deh, sudah deh sekarang mulai ceritanya ya. Setelah hari-hari sebelumnya berlalu, aku seperti sudah diujung rasa menyerah dan tanpa harapan. sepertinya sudah tidak ada harapan hidup. Halah apa-apa aku ini? *lebay*. Namun, itu berubah saat negara api menyerang. Ada kawanku yang lama tidak bertemu. Dia mengajakku ke sebuah tempat yang belum pernah aku mendengarnya. Bukan karena tempat itu baru, hanya saja karena aku tidak pernah ke sana, saking noraknya diriku di hadapan temanku. Halah apa lagi aku ini? Dia mengajakku rencananya di hari Minggu. Kalian tahu biasanya hari itu aku melakukan apa? Ya, aku pulang ke kota tercinta, kota kelahiranku. Namun, kali ini tidak, sudah aku iyakan saja daripada sudah tidak ada harpan hidup lagi *lebay*.
Hari ini hari jumat. By the way, kalau kalian tidak tanya jangan menggerutu saja. Hari Minggu ada acara, hari sabtunya yang belum. Yasudah diam saja di tempat tidur daripada memaksakan kehendak. Eh, hari Sabtu datang dan hari Jumat sudah jadi masa lalu. Siapa bilang orang kalau cinta itu bisa bertahan lama? Aku saja cinta dengan hari jumat kemarin, bisa-bisanya dia meninggalkanku dan menyuruh hari Sabtu yang menemani. Dia sudah menjadi masa laluku sekarang. Sekarang hari Sabtu,tapi aku ingin bercerita tentang Jumat dulu karena aku masih sangat mencintainya.
Begini jelasnya. Hari Jumat ini temanku yang tidak terduga-duga menghampiri istanan terbaikku.
"Aaaaaaaaaaaa!!!!" begitu jeritku ketika dia mengagetkanku.
Aku tidak pernah menyangka bagaimana kami bisa sedekat ini. Dia berkata
bahea hanya ingin mampir melepas rindu dan penat. Rindu ini memang semua
lepas bahkan penat yang menumpuk-numpuk malah hilang seketika. Datang
lagi temanku yang lain. Bukan datang sih, tapi aku undang ke istanaku.
Dia memang banyak bicara, tapi tidak menyebalkan. Semuanya menyenangkan
kali ini. Namun, semakin lama semakin mereka berkata kalau ada
kelelahan. Seperti di film-film kartun, tiba-tiba seakan di samping
kepalaku ada nola lampu berwarna emas menyala *ting* 'aku ada ide'.
"Gimana kalau kita ke roti panggang?"
Roti panggang ini tempat di mana orang-orang foto bersama berkedok beli
makanan. Tempatnya indah. Penerangannya pas. Pealayannya juga tidak
menyebalkan. Mereka tersenyum terus seolah-olah ada air terjun di
giginya sampai tidak kering.
"Aku males," kawanku mengeluh saat kuajak.
"Aku mager," kawanku yang banyak bicara.
"Ayo aku bayar!" siapa tahu kalau gratis bisa mereka mau. Ternyata
mereka kasihan padaku. Memang sih kalau wajah-wajah tidak punya uang
begini tidak meyakinkan kalau berkata, 'ayo aku bayar!'
Mereka mau ke roti panggang, tapi patungan. Yay! Aku kira semua berjalan
lancar. Aku tidak menyangka setelah selesai mandi, hujan jatuh tanpa
komando. Mengapa hujan harus jatuh? Mungkin di langit sana dia tidak
berpegangan pada yang lain. Jadi, jatuh deh ke bumi, kasihan. Kalau
jatuhnya seperti jatuh cinta pasti rasanya berbunga-bunga. Namun, kalau
jatuh seperti jatuh dari tangga itu sangat menyakitkan. *Setengah jam
kemudian*
"Hoi hujan reda!!" hanya aku yang bersemangat. Mereka tetap saja bermalas-malasan.
"Yok langsung cabut!"
Tanpa pikir panjang, aku raih baju kesukaanku warna biru. Memang sudah
pudar alias lebus. Warnanya memang sudah tidak biru sempurna.
Di tempat roti panggang kami hanya fokus berfoto-foto. Jadi, kalau
makanan sampe anyep itu sudah biasa. Cerita yang paling parah dan tidak
kuat menahan tawa saat kami meminta difoto oleh salah satu pelayan.
Semua pengunjung yang makan langsung bangkit memandangi kami semua.
Mereka pikir ada apa kok kami bisik-bisik dengan pelayan. Karena kami
merasa malu, beberapa jepretan selesai lalu kami pilih pulang.
"Woi kalian memalukan!"
"Hei hei apa pedulimu? Tapi asyik kan?"
Aku memikir dua kali karena mereka benar, hal gila itu kadang-kadang
juga mengasyikkan. Namun mendadak leherku gatal ternyata ada makhluk
kecil yang menyengat.
"Hai guys. Aku mau kasih tahu sesuatu, tapi jangan tertawa ya?" Mereka
diam dan memperhatikanku. Mereka konsentrasi penuh seperti ingin
mendapat informasi yang serius.
"Apa?"
"Eh guys, ini kaosku terbalik loh, kalian tahu?" mereka hanya diam dan berpaling.
"Kok kalian nggak ketawa?"
"Katanya nggaj boleh ketawa ya kita diam," salah satu temanku menjawab.
Hahaha. Suara tawa kami pecah. Kami tertawa di sepanjang jalan pulang
karena saat itu jalan kaki. Jadi kami asyik saja tertawa bersama-sama.
Aku tidak habis pikir bagaimana bisa kaos ini terbalik. Aku hanya bisa
menahan tawa dan malu. Aku masih berpikir terus dan terus. Coba deh
kalian bayangkan. Betapa tidak malu kalau kalian memakai baju terbalik
saat kamu di antara kerumunan berbaju kekinian. Berfoto-foto bersama.
Dan akhirnya baru sadar bajumu terbalik. Ini terbalik di waktu yang
terbaik. Aku berhenti berpikir, masih saja otak ini berpikir malu sambil
melihat hasil foto-foto kami bertiga. Memang sedikit tidak terlihat
terbakik. Namun inilah pertanyaannya. Terbaik apa terbalik? Hahaha.
lilaemaliza
Senin, 21 November 2016
Minggu, 20 November 2016
Tips-tips Memotivasi Diri Sendiri
Pernahkah kalian merasa hidup ini tidak adil dan ingin mengakhiri hidup saja daripada disiksa ketidakadilan? Jangan khawatir kalian tidak sendirian. Di mana-mana orang pasti pernah merasakan hal itu, walaupun seorang yang hidupnya pernah damai sekalipun. Namun, kalian harus ingat risiko bunuh diri dan apalah yang berhubungan dengan itu. Jadi, ada tips nih buat kalian para pejuang pembangkit semangat. Silakan mencoba!
1. cobalah untuk mengerti kalau yang kalian alami itu tidak hanya kalian yang mengalami
2. tanamlah dalam lubuk hati yang terdalam kalian pasti bisa melewati semua ini
3. pilihlah untuk bahagia ya
4. sadarilah semua tidak mungkin melebihi kemampuanmu
5. carilah teman yang bisa mengerti dan ajak dia untuk memahami masalahmu kemudian menyelesaikan bersama
6. usahakan mencurahkan segalanya dengan orang yang lebih dewasa. dewasa bukan berarti memiliki umur lebih banyak, tapi pengalaman lebih banyak
7. tulis keinginanmu setelah masalah sudah mereda dan kamu termotivasi untuk bangkit
8. Tuhan mengatur segalanya. apabila kamu taat, semua akan baik-baik saja
9. jangan pernah berpikir buruk pada jauh ke depan, menghadapi semua kemungkinan, boleh, tapi jangan sampai terlarut
10. kekuatan terbesar untuk termotivasi ada pada diri kamu sendiri
gambar by: dimoji
1. cobalah untuk mengerti kalau yang kalian alami itu tidak hanya kalian yang mengalami
2. tanamlah dalam lubuk hati yang terdalam kalian pasti bisa melewati semua ini
3. pilihlah untuk bahagia ya
4. sadarilah semua tidak mungkin melebihi kemampuanmu
5. carilah teman yang bisa mengerti dan ajak dia untuk memahami masalahmu kemudian menyelesaikan bersama
6. usahakan mencurahkan segalanya dengan orang yang lebih dewasa. dewasa bukan berarti memiliki umur lebih banyak, tapi pengalaman lebih banyak
7. tulis keinginanmu setelah masalah sudah mereda dan kamu termotivasi untuk bangkit
8. Tuhan mengatur segalanya. apabila kamu taat, semua akan baik-baik saja
9. jangan pernah berpikir buruk pada jauh ke depan, menghadapi semua kemungkinan, boleh, tapi jangan sampai terlarut
10. kekuatan terbesar untuk termotivasi ada pada diri kamu sendiri

gambar by: dimoji
Rabu, 16 November 2016
Tak Sesexi Dia
Siang ini seperti biasa Uki menyiapkan diri untuk kembali ke tempat perantauannya. Waktu tidak pernah diajak kompromi kalau sudah menunggu bus biru langganannya. Sebenarnya ada bus putih yang bisa mengantarnya lebih cepat, tapi harganya lebih mahal sedikit. Otot-ototnya sudah berteriak memanggil Uki yang dari tadi tidak segera dijemput. Seperti pucuk dicinta ulam pun tiba. Kalau ibarat dia melempar bola ke dinding ada imbasnya, bisa jadi tertangkap waktu memantul atau bisa jadi terkena jidat waktu memantul.
Sudah itu saja basa-basinya. Intinya hari ini Uki sangat sial karena dia tidak dapat tempat duduk. Ototnya semakin berteriak hingga ingin demo menuntut penistaan kesehatan. Apa jadinya kalau perjalanan 3 jam tidak bisa duduk? Yasudahlah. Bus seperti biasa memasukkan penumpan walau sudah penuh. Yang Uki ingat, penumpangnya ada yang naik, berdiri, di tengah pintu. Dia ingat karena waktu itu yang di tengah pintu rambutnya agak seperti mengembang. Dia laki-laki, tampangnya lumayan kalau bagi Uki yang pas-pasan. Rambutnya nyangkut di antara ranting-ranting pohon. Lucu kan? Anggap saja lucu. Untung dia tidak ikut nyangkut di pohon. Mungkin dia pakai sampo yang bahannya dari madu membuat rambut, lembu berkilau walau ikal. Jadi, kesangkut bisa terlepas sendiri. Seakan disisir pakai jari sudah cukup.
Sebenarnya Uki ini anak perempuan yang wajahnya pas-pasan bila disandingkan Maudy Ayunda. Begitu si katanya, kenapa Maudy Ayunda? Entahlah, dia sangat suka sekali dengannya. Bahkan dia pernah bercita-cita mengoperasi plastik wajahnya seperti dia, tapi itu mustahil. Nanti malah menjadi sinetron baru, kembar tapi palsu.
Oh ya, ini kenapa jadi basa-basi lagi? Intinya Uki sangat sial, yang pertama sudah tahu kan? Dia berdiri dari 1 jam yang lalu. Namun, untung saja ada bapak-bapak bangku belakang, paling pojok, kanan, deretan sopir, turun di terminal terdekat. Lega rasanya. Demo para otot-otot kaku tebayar sudah. Jadi, di tengah perjalanan ada anak laki-laki, lumayan, tapi sepertinya dia masih imut-imut bau almamater baru, masih mahasiswa baru. Berdiri tepat di depannya, tempat dia berdiri tadi. Dia bawa tas, kamu kira tasnya itu besar? Ya, sangat besar, mungkin diisi adik keponakan Uki yang nakalnya tidak tertolong dunia akhirat bisa itu, adik Uki masih kelas TK A.
"Maaf mas, ditaruh bagasi saja ya tasnya?"
"Tidak usah pak, merepotkan."
Bapak kernet seperti tidak peduli lagi. Namun, aku pikir ini anak malah merepotkan kalau tasnya ditaruh di sini. Bapak kernet memang tugasnya seperti itu, bukan merepotkan. Dasar anak ingusan, ganteng, tapi sedikit tidak jelas. Yang Uki tahu nama anak itu waktu dipanggil temannya, 'ndre'. Jadi, dia menyimpulkan namanya adalah Andre. Bisa ditebak bukan? Pasti bukan Ndrea, Ndrenata, Gendre, atau apalah. Tasnya mulai menutupi kaki Uki yang lemah. Dia hanya minta maaf. Uki bilang dalam hati, baru saja dia dapat rezeki, malah dapat sial lagi.
Uki mencoba berbincang dengan mbak-mbak sebelah kanan dan kirinya. Cara itu mengalihkannya dari rasa mengeluh dan lain-lain. Awalnya canggung menjadi agak akrab. Mereka bisa tertawa bersama dan kadang saling menertawakan.
Uki mencoba berbincang dengan mbak-mbak sebelah kanan dan kirinya. Cara itu mengalihkannya dari rasa mengeluh dan lain-lain. Awalnya canggung menjadi agak akrab. Mereka bisa tertawa bersama dan kadang saling menertawakan.
"Uki, lihat tu cowok. Kalau diam terus pas bus belok nanti ekspresi kelabakannya pasti membuatmu ingin menamparnya."
"Jeni, kamu pikir cuma mas-mas itu. Lihat mbak yang berjilbab biru panjang itu. Dia berdiri, tapi masih sempetnya merem ngantuk. Nanti kalau dia terkantuk ekspresinya lucu, matanya kayak sulit dibuka. Lihat! Lihat itu! Hahahahahah."
Mereka masih tertawa karena mengamati yang lain yang berdiri. Nata, anak sebelah kanan Uki hanya ikut tertawa karena mungkin dia tidak ada bahan untuk menertawakan yang lain, mending begitu daripada garing kalau dipaksa. Namun, wajah Nata memang terlihat polos-polos diam begitulah. Kalian tahu waktu mereka bertiga sudah akrab? Nata mengeluarkan kresek berwarna hitam. Uki dan Jeni kira dia mau muntah karena mabuk perjalanan. Eh bukan, ternyata Nata bawa makanan sebanyak kresek merah itu. Tidak penuh memang, tapi jumlahnya cukup banyak kalau 2 jam perjalanan pasti belum habis.
"Dua, ikut," bapak kernet memberi isyyarat pada sopir kalau di depan ada dua penumpang yang akan naik. Waktu itu masuk daerah dataran tinggi yang jalannya berkelok-kelok.
Uki mulai tertawa tanpa sebab. Dia bisa membayangkan dengan jelas apa yang akan terjadi. Bukan peramal, hanya membayangkan, makanya dia tertawa sedikti terbahak. Tiba-tiba dua penumpang yang baru masuk membentak Uki karena dikira dia menertawakan mereka. Uki menggeleng-geleng sampai dibela Jeni dan Nata. Padahal, dia memang menertawakan mbak-mbak yang baru naik. (Maaf) karena badanya memiliki berat badan berlebih.
Sial Uki tadi belum teratasi karena kakinya tambah kesemutan karena ditindih tas milik laki-laki tadi. Kini, kakunya diletakkan di atas tas itu tanpa sepengetahuan pemiliknya. Uki mencolek Jeni dan membisikkan sesuatu yang membuat mereka tertawa. Di sana, perempuan dua tadi kualahan menahan dirinya saat bus melewati jalan berkelok-kelok. Jadi, rasanya seperti badannya menggelundung-gelundung di dalam bus, menabrak semua yang di dekatnya. Ada, Uki ingat saat itu ada anak laki-laki kurus di dekat mbak-mbak tadi. Dia sampai berkata ingin cepat turun tanpa alasan yang jelas. Dia naik bersama ketiga temannya. Dia berbisik pada temannya, tidak terdengar memang. Namun, Uki bisa menyimpulkan dengan isyaratnya dia membicarakan dua perempuan sexi tadi yang menyiksa dirinya di jalan berkelok-kelok.
Semua orang tertawa. Dua perempuan itu tidak lagi galak karena mereka sendiri juga seakan menertawakan diri mereka sendiri. Mereka menggelundung tanpa arah di dalam bus sampai bus memasuki kota. Kota itu tidak lagi banyak kelokan. Ada, tapi tidak banyak.
"Pak, pertigaan depan."
Laki-laki kurus itu berteriak pada temannya untuk 'ayo cepat'. Namun, lucunya teman-temannya yang ingin siap-siap menuju pintu belakang bingung. Keadaan bus penuh, sangat penuh, banyak yang berdiri, dan dia berdiri di tengah, sedangkan di belakangnya ada dua perempuan tadi. Otomatis jalan untuk keluar tertutup keduaperempuan tadi. Sialnya, saat teman-teman yang ingin turun minta jalan, dua perempuan sexi itu tidak mau turun dulu. Jadi, dia mundur-mundur sampai salah satu pantat sexi itu terkena wajah Uki yang sedang agak merunduk bermain HP.
"Waow."
Uki, Jeni, dan Nata sempat berkata waow bebarengan. Lalu, mereka tertawa terbahak-bahak. Uki menyumpahi mbak-mbak tadi semoga sexi dan cepat kurus agar tidak mengenai wajahnya lagi. Susah, masih tetap susah teman-temannya yang mau turun minta jalan. Akhrirnya keduanya turun dahulu. Mereka tidak sengaja menurunkan kaki kiri di tengah pintu bersamaan. Jadi saat itu badan mereka berdua menyangkut di pintu. Hal itu menggundang gelak tawa para penumpang. Yang depan kepo-kepo sampai berdiri ingin melihat. Sopir yang berwajah garang saja juga ikut tertawa.
"Cepat, pret," walaupun sopir tertawa, dia menyuruh bapak kernet suruh cepat.
"Sabar bos. Sexi."
Pada akhirnya memang bisa diatasi, tapi ya butuh waktu yang lama. Mereka sudah seperti tidak peduli malu. Mereka juga ikut tertawa dengan penumpang lain. Itu menurut Uki, sial yang tidak begitu sial. Dia hanya merasa terhina saja terkena pantatnya, tapi yasudahlah. Memang sudah terjadi, mau bagaimana lagi.
"Aku ingin membalasnya, tapi aku tak sesexi dia," Uki berbisik pada Jeni dan Nata. Mereka memang sudah seperti akrab. Padahal, baru tadi dipertemukan.
Semua sudah semakin tenang. Tertawaan juga sudah reda. Uki memasang earphone dan mendengarkan lagu kesukaannya. Dia tertidur hingga Jeni membangunkan dan memberitahu bahwa mereka sudah sampai terminal. Rasa sial dan lelah sudah terbayarkan. Pengalaman dan kenangan semakin bertambah. Bahkan dari orang-orang yang baru dia kenal saja mendapat pelajaran berharga. Tertawa tidak harus menertawkan, tapi tertawa bersama. Penyebab tawa bukan berarti dihina, tapi karena dia sangat diperhatikan karena menghibur.
Uki mau mengabadikan semua itu, tapi apalah daya HP dia tidak memiliki
kamera yang bagus. Uki tidak tahu dengan Jeni dan Nata, sepertinya
mereka juga tidak merekam, tidak tahu dengan yang lain. Yang jelas, saat
ini Uki sudah tidak pernah bertemu mereka lagi.
Jumat, 30 September 2016
Bus Hitam Kursi Nomor Tiga
Hari ini
tiba waktunya punggungku harus menempel di kursi penumpang bus selama tiga jam.
Ya, dihitung juga dengan berhentinya kira-kira segitulah, kalau lebih ya
disimpan saja. Ah lupakan. Aku berjalan menapaki jalanan yang sepi bagai jalan
ini milik diriku sendiri. Bukan, ini bukan kisah seram, melainkan keadaan yang
mendung sangat kelam membuat orang enggan keluar melewati jalan ini. Beda
dengan diriku, aku rela malampauinya demi melepas kerinduan dengan orang-orang
tercinta. Sudah sampai kakiku melewati jalan itu, langsung angkutan umum
menyapaku dan aku naik itu demi sampai di terminal Landungsari, Malang. Di
situlah aku berlabuh menunggu bus selanjutnya parkir untuk keberangkatan. Nah,
nah, nah, mendung mulai memberi notifikasi akan datang hujan. Air jatuh sedikit
demi sedikit. Air itu tahu rasanya jatuh makanya dia jatuh perlahan ke bumi
agar tidak sakit. Seorang kernek menghampiriku menyuruhku naik bus yang
menurutku hanya ada satu di situ, Puspa Indah, tapi desain warnanya hitam.
Padahal yang lain berwarna biru.
"Yaah,
sepi, cuma ada bapak-bapak. Pasti lama ini berangkatnya. Nunggu penuh.
Pasti," aku pun berkata pada diri sendiri.
Ku pilih
kursi nomor dua di belakang sopir di dekat jendela. Nah, nah, nah, ada rasa
yang tidak nyaman. Aku bertahan beberapa menit, lima belas menit hingga banyak
orang masuk mengambil duduk. Namun, aku tetap tidak nyaman. Akhirnya, aku
pindah di kursi nomor tiga dan waktu itu masih kosong, dekat jendela. Itulah
isyarat alam kepadaku, bila sudah tidak nyaman dengan sesuatu yang terus
dipertahankan, pindahlah dengan sesuatu yang lain yang lebih nyaman.
"Mbak,
permisi mau tanya, ini bus kok bangus banget ya? Apa ini mahal? Atau ini patas?
Tadi aku baca di sana AC tarif biasa. Emang ada tarif yang luar biasa?"
mendadak aku kaget dengan pertanyaan orang yang di belakangku.
"Oh
jangan khawatir mbak, semua bus sama tarifnya kok kalau ke Kediri. Beda lagi
Jombang itu kayaknya ada yang patas," aku menjawab dengan wajah sok tahu.
Aku memang
tidak sabaran. Waktu baru berjalan 45 menit saja sudah ingin terjun keluar
mencari pelarian bus yang lebih berangkat dahulu. Aku bertanya pada kernek
pukul berapa ini akan berangkat. Padahal, bus sudah penuh. Belum sih, ada yang
belum terisi, tiga kursi. Kernek menjawab kalau bus akan berangkat sekitar
pukul setengah 4 yang artinya jam 15.30 an atau kalau lebih ya disimpan saja.
Aku terkaget mendengar kata setengah 4, wah, masih lama itu artinya. Aku bisa
tidur dulu sampai mimpi ke pulau dewata. Ya, mimpi. Biarkan hanya mimpi yang
penting tidak terlalu gila mengharap yang belum pasti. Pada waktu yang belum
setengah 4 sopir sudah naik dan bus jalan. Wah masih parkir. Yasudahlah aku
tunggu walau hati rasanya ingin marah-marah, teriak, dan banting bus ini kalau
bisa. Namun, keadaan itu seakan terbalik saat aku lihat pangeran yang mungkin
jatuh dari langit masul dari pintu depan. Aku menganga, melongo seperti orang
bodoh. Dia meminta izin untuk duduk di sampingku. Wajahku yang kucel dan sebal
waktu itu masih menerjemahkan dan melihat kanan, kiri, belakang tempat mana
yang masih kosong. Ya, ternyata hanya punyaku.
"Aku
Deon, namamu?" aku merasa ini sangat cepat, perubahan keadaan suasana
hatiku. Aku masih bingung menjawab apa. Aku takut kalau menjawab nanti bau
mulutku tidak enak, bagaimana nanti kalau dia pingsan. Apa hanya aku yang
merasakan seperti ini? Ahsudahlah.
"Aku
Livia," beginikah rasanya? Beginikah kelihatannya? Aku merasa ada yang
nyaman saat kami berdua tidak sengaja saling tatap. Sumpah bukan mendramatis,
ini seperti di sinetron-sinetron.
"Turun
mana?" aku tidak konsentrasi menjawab pertanyaanya karena beralih ke
ketampanan wajahnya. Sumpah ini seperti pangeran. Namun, basa-basinya sangat
basi. Biarlah yang penting sudah ada perantara untuk mengobrol.
"Oh aku
turun Kediri, kamu mana?" aku sok tidak peduli. Padahal, aku sangat
mengharap aku bisa berbicara banyak layaknya sudah akrab.
"Oh
sama dong kalau gitu. Eh omong-omong kuliah ya?" aku menjawab iya dan dia
juga anak kuliah. Tidak terasa bus sudah keluar dari terminal. Aku tidak
menghiraukan sekitarku apakah ada pemandangan menarik atau tidak. Aku masih
mengagumi Deon. Sumpah kalau kalian benar-benar melihat ini orang, dunia tidak
akan berarti bagi kalian.
Kernek atau
kondektur sudah mulai beraksi seakan-akan dia yang berkuasa di tempat ini. Dia
memintai uang dari penumpang-penumpang dan jumlahnya sesuai jurusan. Dia
menarik uangku dan uang Deon. Deon terkaget katanya aku turun di Kediri kok
hanya bayar sedikit. Aku menjawab aku bukan turun di terminal, tapi di sebuah
perempatan. Lalu, dia juga membahas di mana dia turun, di perempatan juga, tapi
lebih dahulu dia daripada aku. Lumayan dekat hingga membuat dia terheran dan
bertanya-tanya kok sepertinya kenal.
"Oalah
kamu turun di situ. Nah kita tetangga desa dong," aku hanya menjawab kalau
di situ rumah tanteku bukan rumahku. Rumahku ada di Kediri. Dia hanya bilang O
saja.
Lama
kelamaan kami kehabisan bahan obrolan. Kami diam dan tidak saling bicara. Aku
lebih memilih pemandangan gunung. Itulah yang membuat aku terkaget. Betapa
sudah jauh perjalanan yang aku tempuh. Sudah sampai sini? Begitu kataku dalam
hati. Lekuk-lekuk jalanan dan tikungan membuat Deon mengantuk. Dia terpejam
seperti di timang-timang. Namun, aku heran dengan diriku mengapa aku tidak
mengantuk? Padahal, biasanya saat pulang kampung pasti aku tidur dari awal
sampai akhir.
Ini beda
sekali, sangat beda. Entahlah. Mendadak aku tertawa melihat Deon tidur, aneh.
Kakinya bisa melebar ke mana-mana hingga mulai mendekat denganku. Lalu, dia
ditegur bapak-bapak yang tidak dapat tempat duduk. Di situ dia mengatakan kalau
kakinya menghalangi bapak itu berdiri. Aku mengok ke arah bapak saat Deon
terkaget dan terbangun dalam tidurnya. Wah ternyata di sebelah bapak sampai ke
belakang banyak sekali penumpang yang berdiri. Aku sampai tidak sadar, apakah
ini namanya dialihkan perhatianku.
"Deon,
kamu aneh-aneh saja bisa sampai di situ kakimu," dia hanya tertawa bersama
rasa heran juga.
"Aku
nggak tahu Liv, semua terjadi begitu saja," aku mengangguk saja.
Iya memang
semua terjadi begitu saja, seperti aku saat ini ada di sebelahmu. Apa hanya aku
yang merasakan hal ini. Rasa apa ini? Aku tidak tahu. Suka? Kalau suka pada
pandangan pertama mungkinkah? Ah aku tidak tahu, yang jelas ini hanya kupendam
sendiri. Deon kembali terpejam. Aku mengatakan sesuatu dalam hati, dasar
laki-laki, tidur saja kerjaannya. Ini orang tidak tertarik apa berbincang
denganku? Aku merasa tidak ada rasa lelah yang menempel padaku. Padahal,
biasanya akan ada rasa cepat turun dari bus karena duduk terlalu lama.
"Waduh
Deon, apa-apaan dia ini?" aku melihat dia, kepalanya sudah tidak sengaja
bersandar di pundakku. Awalnya tidak menempel hanya ada jarak 10 senti.
Akhirnya menempel di pundakku. Aku heran aku ingin menyingkirkannya, tapi takut
dia terkaget bangun lagi. Aku biarkan saja, tapi benar-benar tidak ada rasa
lelah di pundakku. Aku mulai menyingkirkan perlahan agar tidak dikira aku
nyaman dengan dia.
"Wah
Liv maaf. Sorry. Aku nggak sengaja," aku bertanya padanya kalau tidur
memang tidak bisa diam? Dia hanya menjawan iya.
Dua jam
berlalu kami mengobrol tentang kesukaan kami tinggal di Malang. Dia serentak
mengatakan aku merugi karena saat ditanya sudah pernah ke mana saja. Aku hanya
menggeleng. Dua tahun di Malang, aku ditanya, sudah pernah ke Jatim Park?
Paralayang? Selecta? BNS? Aku hanya menggeleng. Rumah makan mana yang pernah
aku hinggapi menongkrong dengan teman-teman, aku menggeleng lagi. Pasar parkiran?
Sengkaling? Cafe-cafe yang ada di Malang? Semua aku menggeleng kecuali Matos
dan Bingso. Bahkan dia tertawa terbahak-bahak hingga mukaku memerah saat dia
bertanya pernahkan aku ke alun-alun Malang? Aku menggeleng.
"Super
sekali kamu Livia, kamu semedi di kos? Atau kamu susah cari teman untuk ke
mana-mana? Atau bagaimana sih? Aku nggak habis pikir jalan otakmu. Rugi tahu.
Jangan serius-seriuslah kuliah. Santai, Malang itu santai."
"Bukan
gitu Deon. Kamu nggak ngerti. Ah pokoknya aku belum pernah deh. Kalau ada
kesempatan aku sempatin deh."
"Ih
sumpah aku yakin pasti ada kesempatan deh Liv. Tinggal niat kamu aja. Ah kalau
saja aku masih semester awal. Aku ajak kamu sama teman-temanku kalau mau. Ini mungkin
aku dua bulan lagi sudah wisuda."
Aku
menyayangkan hal itu juga. Aku tidak tahu harus bilang bagaimana pada Deon.
Bukan karena kesempatan, aku hanya memikirkan keluargaku. Di sana mereka
berjuang demi aku. Di sini aku senang-senang. Namun, aku juga ingin cari
pengalaman. Aku mendapat beberapa rupiah dari usahaku sebenarnya aku rencanakan
untuk hal itu. Lalu, membeli baju untuk aku pakai di sini daripada aku membawa
dari kampung berkoper-koper, lebih baik beli di sini yang murah. Namun, saat
pulang kampung dan lihat keadaan rumah, orang tuaku, aku jadi memilih menabung
uang itu. Bahkan pernah aku berikan ke mereka semua.Sudahlah, jalan ada
sendiri. Biarkan aku mengalir. Aku tidak tahu menabrak apakah saat aliran
sangat deras dan mengayuh dengan apakah saat alirannya tenang. Pasti aku akan
sampai pada ujungnya.
"Deon,
kamu jangan ketawa terus! Lebih baik kamu tidur," aku juga merasa
mengantuk, tapi aku susah tidur memikirkan perkataan Deon. Aku? Apakah aku
rugi? Ah tidak juga.
Aku tidak
sengaja telah mengantuk. Padahal, sudah sampai Kasembon yang memungkinkan aku
akan sampai? Aku terlelap dan tidak tahu menahu apa yang terjadi. Aku sedikit
tenang hingga tangan menggenggam kepalaku yang membuatku kaget. Aku terbangun,
masih beberapa menit aku tidur. Doen yang memegang kepalaku. Dia bilang aku
terlalu mendekat padanya dia akan menyingkirkannya seperti yang kulakukan
padanya.
Ada suara
ribut-ribut di belakang. Aku penasaran. Aku dan Deon menengok ke belakang. Eh
ternyata orang yang tadi bertanya padaku tarif bus yang ribut dengan kernek.
Dia protes mengapa bus tidak lewat memutar seperti biasa. Kernek menjawab
karena sudah sore dia lewat jalan pintas.
"Loh
pak harusnya kan lewat Ngoro, aku mau turun di situ," dia penuh emosi
meluapkan segalanya yang sedilit tidak jelas suaranya.
"Loh
mbaknya tadi bilang mau turun Kediri. Pas kami data nggak ada yang turun di
situ ya kami lewat jalan pintas. Hayo gimana?" dia kalah. Perempuan itu
memang bilang turun di Kediri. Entah tujuannya apa yang jelas menurutku dia
salah.
"Terus
gimana ini? Apa aku nanti lapor?"
"Loh
mbak ini gimana to? Gini mbak jangan bingung. Santai, tenang. Nantin sampai
Kediri, mbak oper bis saja. Beres kan? Lain kali bilang saja tujuan mbak, nggak
perlu malu. Kalau nggak tahu ya tanya."
Perempuan itu
tetap tidak terima dengan keputusan kondektur. Namun, apalah daya dia hanya
penumpang, bukan sopir. Dia termenung di belakang kemudian kembali ke tempat
duduknya. Dia bercerita kepadaku kalau dia memang tidak sengaja bilang Kediri.
Dia pikir daripada bayar kurang mending lebih, tapi sampai. Namun, nasi sudah
menjadi bubur.
"Sudah
mbak nggak papa, buat pelajaran saja," dia tidak menggubris aku. Aku juga
tidak peduli pada akhirnya.
Aku melihat
Deon tertidur lagi. Namun, teleponnya berdering hingga membuat dia bangun. Foto
seorang perempuan cantik yang meneleponnya. Aku yakin itu kekasihnya. Dia tidak
menjawab kemudian di telepon lagi. Aku tidak ingin bertanya mengapa tidak
dijawab. Aku tahu itu urusan dia.
Deon segera
menelepon seseorang yang lain dan mengatakan dia sampai di Pare. Waktu terus
berjalan hingga tempat tujuan semakin dekat. Aku seakan tidak rela melepas
kebersamaan ini. Bukan aku yang telah jatuh hati, bukan. Aku hanya senang
mendapat teman baru saja. Deon sudah mulai menemui titik di mana bus berhenti
untuk menurunkan dia. Di perempatan yang dulu pernah aku jatuh dari motor di
tempat itu. Aku teringat masa lalu, tapi tidak penting. Aku hanya melongo
ternyata dia turun di sini.
"Liv,
bye."
Dia hanya
memandangku dan mengatakan hal itu. Dia tidak ada kata-kata lain. Perasaanku
berkata seakan tidak rela dia turun terlebih dahulu. Di tengah keramaian
penumpang bus, hanya aku yang merasa sepi saat ini. Aku tidak tahu mengapa. Ini
bukan pertanda apa-apa, aku mengatakan pada diriku sendiri kalau ini bukan
apa-apa. Namun, aku berdiri dan melangkah. Giliranku untuk turun.
Aku masih
teringat dengan dia. Mengapa dia tidak meminta nomor teleponku atau yang lain?
Mengapa aku juga tidak begitu? Aku tidak tahu. Dia seperti penenang, betapa
tidak? Tiga jam serasa hanya setengah jam saja. Aku tidak merasakan lelah. Aku
menancapkan kata-kata pada diriku bahwa dia bukan siapa-siapa. Entahlah aku
harus bagaimana. Aku hanya ingin mendapat teman baru. Bahkan baru pertama kenal
saja bisa seakrab ini. Dia bisa menertawaiku karena kekunoanku dan mengatakanku
hanya semedi di kos. Sudah. Aku sudahi saja perasaan ini. Lupa. Aku akan
lupakan.
Baca juga yang lain ya:
Puisi (Diam Tanda Tanya)
Gambar-gambar Motivasi
Cerpen Molly
Baca juga yang lain ya:
Puisi (Diam Tanda Tanya)
Gambar-gambar Motivasi
Cerpen Molly
Kamis, 29 September 2016
Hidup adalah Pilihan
Pernah
aku merasa akan mengakhiri hidupku, tetapi rasa ragu akan kematian selalu
menghantui. Semua sudah pernah kusiapkan, benda tajam, racun, dan surat wasiat.
Namun, semua salah, tidak itu tujuan hidupku. Pada ujung penderitaanku, yang
entah sampai kapan penderitaan ini menempel pada diriku, aku mendapat kata-kata
dari seorang pengajar di universitas, dia berkata bahwa hidup itu adalah
pilihan. Ya, aku tahu, dari dulu wacana “hidup adalah pilihan” sudah menjadi
hal yang dijadikan seperti peribahasa. Aku tidak tahu artinya dahulu, walaupun
sudah kujadikan status dan lain-lain. Pada saat ini aku baru tahu artinya, ya,
pilihan. Aku memilih bahagia walau sampai detik ini penderitaan masih saja
menghantui diriku. Saat orang yang aku kagumi mengacuhkanku, aku berkata pada
diriku sendiri, “ya memang aku bisanya seperti ini. Aku sudah berusaha, aku
sadar diri bagaimana hasilnya. Kalau memang dia lebih baik dariku ya itu memang
dari Tuhan. Jangan khawatir orang ada petaknya sendiri-sendiri. Bayangkan saat
laptopmu rusak kalau dikoyak-koyak sendiri sampai otak dan pikiranmu hancur
melihat tutorial-tutorial macam-macam tanpa ilmu itu sia-sia. Mending ke tukang
servis, nah itu petak manusia. Dia di petak tukang servis, aku di petak orang
yang mau servis. Sudah”.
Bukan
berarti tidak hanya berdiam dan bilang “yasudah”, tapi berusahalah sampai
menuju ujung hingga kam seakan ingin bunuh diri saja. Itulah yang aku sebut
memilih bahagia. Jadi mulai saat ini bahagia menurutku adalah syukur dan ikhlas
walaupun biasanya bahagia diidentikan dengan senyuman dan tawa. Aku menangis
pun bila itu aku bersyukur akan kusebut bahagia. Hidup adalah pilihan. Silakan kalian
memilih pilihan hidup yang tepat. Namun, jangan lupa bahagia.
Langganan:
Postingan (Atom)