Molly, Kisah Sahabat Sejati
Memang
tempat yang tak layak untuk binatang lahir, berteman sepi dan dingin tanpa ibu disiang
hari saat perut waktunya diisi dan malam hari saat badan terjaga di pelukannya.
Itu hidup yang akan dia jalani jika tak ada orang yang iba padanya. Tetapi
tampaknya semua orang iba, kasian, bahkan menangis dalam hati jika melihat dia,
namun tak ada asa untuk menemaninya berdamping di kasur empuk berteman selimut
dengan susu hangat setiap pagi, memandikan setiap minggu, dan memberi isi perut
pemompa tenaga untuk setiap dia lapar. “Molly” begitu aku memanggilnya,
walaupun belum menjadi milikku. Bukan sok imut pakai nama layaknya manusia tapi
binatang berbulu halus ini memang benar-benar imut.
Pada
kerumunan tak terhitung betapa banyak orang yang ke sana ke mari sibuk dengan
urusan mereka. Kumelangkah menuju penjual sayur tapi terhenti sesaat
dikeramaian tepat di penjual sepatu. “Molly” aku menemukan raganya di kolong
penjual sepatu. Aku tak habis pikir mengapa dia ada di situ? Kutatap mata
beningnya dan dia membalas tatapanku seakan ingin mengejarku dan memintaku
membawanya pulang bersamaku. Molly memnaggilku dengan lirih namun merdu tapi
saat aku menoleh dia menjauh. Sengaja kukejar sepertinya dia ingin bermain, bersembunyi
di sebelah penjual baju, memang badannya tak terlihat tapi ekor mungilnya
kupandang dengan jelas. Aku menjauhinya, namun dia kembali ke kolong penjual
sepatu. “Mah, lucu banget! Bawa pulang ya mah?” aku merengek pada ibuku yang
tepat di depanku. “Gak usah! Buat apa dibawa pulang, nanti dicari induknya.”
Ibuku mencoba melarangku membawanya pulang.
Terdengar
Molly tetap memanggilku seakan dia brontak. Aku dan ibuku melanjutkan
perjalanan menyusuri setiap lorong jalan kecil dan becek di Pasar Pagu, pasar
yang ramai di desaku. Penjual sayur tujuan pertama kita. Terpaksa sangat
terpaksa aku meninggalkan binatang lucu itu. Memang banyak di tempat ini tapi
dia berbeda. “Molly” kucing berbulu halus berwarna beige atau biasa disebut krem bertabur putih di wajah, dada hingga
ke perutnya. matanya yang sipit menambah kecantikkannya terpancar ke seluruh
penjuru pasar. Dalam hati aku berkata (Dah Molly... pasti suatu saat kita
ketemu lagi!)
Kunaiki
sepeda anginku, selangkah demi selangkah. Waktu memakan roda yang berputar
seirama dengan detak jam yang melingkar di tangan kiriku. Hanya lima langkah
dari rumah begitu dekat langsung kuceritakan tentang kucing itu tadi,
“Mas,
aku tadi liat kucing lucu, sekitar umur dua minggu , imut banget, tapi
sayangnya sama mamah gak boleh dibawa pulang!” Hanya cerita beberapa detik bisa
mengubah masku serentak menanggapiku, “Ayo diambil aku anter. Gakpapa! Bilang
aja yang minta aku.” Maklum langsung bilang mau anterin ambil kucing karena
hanya lima langkah dari rumah sudah menginjak mulut Pasar Pagu. “Gak usah!”
tiba-tiba ibuku menabrak percakapan kita dengan nada tinggi.
“Hah
yasudahlah, kenapa juga gak boleh segala? Biar si cemong punya temen.” Aku
kesel sudah. Si cemong yang kumaksud itu
kucing yang sekarang di rumahku, gendutnya minta ampun. Jantan pula, berjiwa
melindungi bagai superhero. Spiderbatrobinman,
sebutan yang biasa aku gunakan untuknya hanya inisial saja. Ah sudah itu kucingku yang lain, kembali
lagi ke Molly!
Malam
terasa lebih panjang, semakin dingin mengikat sampai ke tulang. Suara jangkrik
yang mengiringi lamunan sesaatku tentang Molly. Selimut tebalku berbahan wol
dengan kasur empuk seprai biru bergambar pucca
yang nyaman namun tetap membawaku dalam dingin dan gelapnya malam menusuk
hingga ke hati. Bukan karena dingin ini aku mengeluh. Hanya saja bagaimana
Molly kecil tak ada ibu disampingnya, dia sendirian tanpa teman duduk merenung,
menangis, dan mengeong tanpa nada. Sejenak aku berpikir di mana Molly akan
berteduh jika titik air selalu mengguyur setiap sore. Tanpa susu hangat maupun
dekapan ibu setiap malam. Mulai kututup mataku kupejamkan perlahan, sejenak
terbuka tak kusangka ibu datang menghampiriku dan bertanya,
“Sudah
tidur nak?” padahal tampak jelas aku masih membuka mata. “Iya mah kenapa?”
jawabku kesel tetapi tetap senyum. “Besok kita ke pasar ambil kucing yang tadi,
kasian kan sendirian. Musimnya ini lagi bingung, hujan gak, kemarau juga gak.
Banyak hujannya jadi kasian kan? Toh
sebentar lagi bulan puasa, makanan pasti banyak, setidaknya gak kurang.”
“Oke
mah! Tapi kalau puasanya habis tetep banyak makanan kan mah? Haha” sambil
ketawa saking senengnya.
Entah
ada angin apa ibuku bilang besok mengambil Molly ke pasar bukan badai atau
topan yang merubah pikiran ibuku tentang kucing itu. Kabar indah ditengah malam
musim hujan membuat hati riang. Serentak ku keluarkan buku diary yang menampung
curhatanku yang tertulis. Waktu terus berjalan namun seakan aku ingin
mengajaknya berlari mengejar hari esok hingga bertemu mentari pagi tersenyum
manis padaku.
Mungkin
terlalu cepat juga aku memunyai peliharaan baru. Aku memberinya nama Dominic
Mollyto Adjah. Seminggu berlalu samakin membuat hati semakin gembira bersahabat
dengan Molly adalah hal yang luar biasa. “Meong... Meong... “ Molly berteriaak yang
kumengerti dia ingin minum susu dan makan sepuasnya. “Mauw... Mauw... Molly,
sini Molly!” jawabku seakan aku ingin menyampaikan padanya sebentar ya Mollly.
...ooo00ooo...
Itu
hanya awal persahabatanku dengan Molly. Namun tepat tanggal 9 September 2013,
hari yang mulia bagiku tetapi tidak untuk Molly kecilku. Tingkah ceria, jingkrak-jingkrak tak punya aturan,
kejar-kejaran dan gelut dengan
cemong, rakus, pokoknya ada saja, hanya hari ini tidak ada. Merebahkan badan di
tumpukan baju sobek dalam kardus hangat, lemas dan tak berdaya. Sedikit ku
jamahkan tanganku ke kakinya dia langsung berteriak,
“Meong...
Meong... !” serasa kesakitan menusuk-nusuk tulangnya. “Kenapa kucingku,
manisku, kok gak mau makan kamu? Mauw... Mauw...! L”
bertanya pada kucing seperti orang gila berbicara sendiri tapi aku yakin kucing
punya perasaan dan aku dapat merasakan jawaban Molly. “Mauuuw... Meoong..
Ngaung..!” teriaknya.
Mungkin
dia ingin menyampaikan curahatan dan mengeluh padaku. “Aku sakit, sangat
sakit.. bisakah kamu merawatku dengan baik dan sabar, rasanya aku ingin pergi
tapi aku juga ingin bersama kalian para manusia perawatku.” Begitulah katanya
jika Molly dapat berbicara yang akan ia ucapkan saat aku merawatnya kala sakit
ataupun sehat. Bukannya pelit tidak membawa Molly ke dokter khusus kucing,
hanya saja belum ada biaya untuk ke sana. Sejenak aku merenung apa yang harus
aku lakukan,
“Molly
minum ya? Makan juga ini aku punya kue bolu kesukaanmu.” Aku berkata seperti
itu sambil nangis.
“Mauuw...!”
nadanya semakin rendah, mengeong sambil berjalan tertatih menuju tempat susu.
Seteguk terasa nikmat dilanjutkan tegukan kedua, selanjutnya bukan kelegaan
yang ia dapatkan. Pertama ia mulai tersendat pelan aku kira tak apa-apa, kedua,
ketiga, dan keempat aku langsung membawanya, mebersihkan bulu halusnya.
“Molly
tidur sini ya? Dengan cemong juga.”
“Mauuuw...
Meong..” mungkin itu berarti (iya aku mau tidur di sini menemanimu dalam
lelapnya tidur tanpa kesakitan)
Bukan
kardus tempat ia merebahkan badan dari lelah kali ini, melainkan kamar
terindahku dengan selimut kesayanganku. Malam ini aku dapat merasakan
kesakitannya, sedetik ia terbaring namun bangun lagi. Kulelapkan diriku,
tertidur lemas merasakan penyesalanku. Mengapa Molly bisa sakit? Mengapa aku
hanya bisa memberi obat cacing, penawar racun, air kelapa, susu, dan kue bolu
kesukaannya, namun tetap lemas seperti ini dan juga tersendat tak karuan. Ah
aku coba tenangkan diriku. Pukul 00:11 aku terbangun karena aku merasakan Molly
beranjak dari kasurku. Beberapa detik
yang kuhitung dengan jariku semapt ia menatapku saat beranjak. Tatapan
matanya, bening bagai malaikat atau bidadari entah apa lagi, ini tak bisa
diungkapkan dengan kata-kata. Mata beningnya menatapaku 6 detik dan berlalu
menoleh menghadap pintu kamarku. Melompat dari kasur, langsung ku mengejarnya
dan berbisik, “Molly hati-hati kamu sakit jangan lompat begitu.” Aku kaget tak
tau kenapa dia hanya diam menatapku. Sorotan matanya berkata padaku (jangan
nangis ya kalau aku pergi nanti?)
Aku
merasa prihatin dengannya tapi apalah daya tangan tak sampai? apa yang harus
aku lakukan? Kugendong saja dia kebelakang, ku bersihkan badannya sampai
sisa-sisa muntahannya. Kita lanjutkan menutup mata di malam hari yang kelam,
terpaksa merebahkan badan untuk menyambut kegiatan esok pagi.
.........
Terdengar
ayam berkokok pertanda sang fajar menjemput sinar matahari pagi untuk
menghangatkan penghuni bumi, tanaman, manusia, bangunan, tanah, dan apa adanya
di bumi ini. Hari yang cerah bertolak belakang dengan perasaanku saat ini. Kuangkat
dan kugantungkan tas merahku di bahu kiri ini tandanya aku akan berangkat
bekerja. Tak lupa salam salim sayang dari mama tercinta dan keluarga perlahan
kunaiki si Beti, skuter matic kesayanganku. Pagi itu tatapan Molly membawa
pesan padaku seakan ia berkata (kakak, cepat pulang ya, aku akan selalu rindu
kamu dan aku ingin berpisah denganmu dalam keadaan seperti ini). Entah
bagaimana aku bisa mengartikan meong, tatapan mata, dan tingkahnya. Aku juga
tak tahu yang aku artikan itu benar atau tidak itu hanya Tuhan yang tahu.
.........
Adikku
tersayang menghampiriku saat ku turun dari si Beti. Wajah yang tak ku inginkan,
sedih,
“Mbak, Molly meninggal tadi siang!”
katanya sambil mengelus pundakku agar aku bisa ikhlas dan bersabar.
“Haa?
Yang benar saja? Kamu gak bohong? Di mana makamnya?” jawabku tersentak kaget
tak terbayang olehku.
“itu
mbak makamnya sebelah makam Legimin
(sambil menuntunku ke makam Molly).” Kata adikku menunjukkan makam Molly tepat
di belakang rumah di dekat makam Legimin, kucing pertamaku. Cemong juga
mengikuti langkahku seakan dia juga berduka dalam hati. Sore ini hanya air mata
yang dapat berkata kami berduka.
Tak pernah kuakhiri persahabatan kita
sampai di sini
Ini
jalanku mencurahkan isi hatiku
Hanya pesan biasa
Aku menyayangimu.
Baca juga ya cerita yang lain, tinggal klik yang di bawah ini:
Lupa Cara Menangis (Part 1)
Lupa Cara Menangis (Part 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar