lilaemaliza

Selasa, 13 Oktober 2015

Cerpen Molly



Molly, Kisah Sahabat Sejati
Memang tempat yang tak layak untuk binatang lahir, berteman sepi dan dingin tanpa ibu disiang hari saat perut waktunya diisi dan malam hari saat badan terjaga di pelukannya. Itu hidup yang akan dia jalani jika tak ada orang yang iba padanya. Tetapi tampaknya semua orang iba, kasian, bahkan menangis dalam hati jika melihat dia, namun tak ada asa untuk menemaninya berdamping di kasur empuk berteman selimut dengan susu hangat setiap pagi, memandikan setiap minggu, dan memberi isi perut pemompa tenaga untuk setiap dia lapar. “Molly” begitu aku memanggilnya, walaupun belum menjadi milikku. Bukan sok imut pakai nama layaknya manusia tapi binatang berbulu halus ini memang benar-benar imut.
Pada kerumunan tak terhitung betapa banyak orang yang ke sana ke mari sibuk dengan urusan mereka. Kumelangkah menuju penjual sayur tapi terhenti sesaat dikeramaian tepat di penjual sepatu. “Molly” aku menemukan raganya di kolong penjual sepatu. Aku tak habis pikir mengapa dia ada di situ? Kutatap mata beningnya dan dia membalas tatapanku seakan ingin mengejarku dan memintaku membawanya pulang bersamaku. Molly memnaggilku dengan lirih namun merdu tapi saat aku menoleh dia menjauh. Sengaja kukejar sepertinya dia ingin bermain, bersembunyi di sebelah penjual baju, memang badannya tak terlihat tapi ekor mungilnya kupandang dengan jelas. Aku menjauhinya, namun dia kembali ke kolong penjual sepatu. “Mah, lucu banget! Bawa pulang ya mah?” aku merengek pada ibuku yang tepat di depanku. “Gak usah! Buat apa dibawa pulang, nanti dicari induknya.” Ibuku mencoba melarangku membawanya pulang.
Terdengar Molly tetap memanggilku seakan dia brontak. Aku dan ibuku melanjutkan perjalanan menyusuri setiap lorong jalan kecil dan becek di Pasar Pagu, pasar yang ramai di desaku. Penjual sayur tujuan pertama kita. Terpaksa sangat terpaksa aku meninggalkan binatang lucu itu. Memang banyak di tempat ini tapi dia berbeda. “Molly” kucing berbulu halus berwarna beige atau biasa disebut krem bertabur putih di wajah, dada hingga ke perutnya. matanya yang sipit menambah kecantikkannya terpancar ke seluruh penjuru pasar. Dalam hati aku berkata (Dah Molly... pasti suatu saat kita ketemu lagi!)
Kunaiki sepeda anginku, selangkah demi selangkah. Waktu memakan roda yang berputar seirama dengan detak jam yang melingkar di tangan kiriku. Hanya lima langkah dari rumah begitu dekat langsung kuceritakan tentang kucing itu tadi,
“Mas, aku tadi liat kucing lucu, sekitar umur dua minggu , imut banget, tapi sayangnya sama mamah gak boleh dibawa pulang!” Hanya cerita beberapa detik bisa mengubah masku serentak menanggapiku, “Ayo diambil aku anter. Gakpapa! Bilang aja yang minta aku.” Maklum langsung bilang mau anterin ambil kucing karena hanya lima langkah dari rumah sudah menginjak mulut Pasar Pagu. “Gak usah!” tiba-tiba ibuku menabrak percakapan kita dengan nada tinggi.
“Hah yasudahlah, kenapa juga gak boleh segala? Biar si cemong punya temen.” Aku kesel sudah. Si cemong  yang kumaksud itu kucing yang sekarang di rumahku, gendutnya minta ampun. Jantan pula, berjiwa melindungi bagai superhero. Spiderbatrobinman, sebutan yang biasa aku gunakan untuknya hanya inisial saja. Ah sudah itu kucingku yang lain, kembali lagi ke Molly!
Malam terasa lebih panjang, semakin dingin mengikat sampai ke tulang. Suara jangkrik yang mengiringi lamunan sesaatku tentang Molly. Selimut tebalku berbahan wol dengan kasur empuk seprai biru bergambar pucca yang nyaman namun tetap membawaku dalam dingin dan gelapnya malam menusuk hingga ke hati. Bukan karena dingin ini aku mengeluh. Hanya saja bagaimana Molly kecil tak ada ibu disampingnya, dia sendirian tanpa teman duduk merenung, menangis, dan mengeong tanpa nada. Sejenak aku berpikir di mana Molly akan berteduh jika titik air selalu mengguyur setiap sore. Tanpa susu hangat maupun dekapan ibu setiap malam. Mulai kututup mataku kupejamkan perlahan, sejenak terbuka tak kusangka ibu datang menghampiriku dan bertanya,
“Sudah tidur nak?” padahal tampak jelas aku masih membuka mata. “Iya mah kenapa?” jawabku kesel tetapi tetap senyum. “Besok kita ke pasar ambil kucing yang tadi, kasian kan sendirian. Musimnya ini lagi bingung, hujan gak, kemarau juga gak. Banyak hujannya jadi kasian  kan? Toh sebentar lagi bulan puasa, makanan pasti banyak, setidaknya gak kurang.”
“Oke mah! Tapi kalau puasanya habis tetep banyak makanan kan mah? Haha” sambil ketawa saking senengnya.
Entah ada angin apa ibuku bilang besok mengambil Molly ke pasar bukan badai atau topan yang merubah pikiran ibuku tentang kucing itu. Kabar indah ditengah malam musim hujan membuat hati riang. Serentak ku keluarkan buku diary yang menampung curhatanku yang tertulis. Waktu terus berjalan namun seakan aku ingin mengajaknya berlari mengejar hari esok hingga bertemu mentari pagi tersenyum manis padaku.
Mungkin terlalu cepat juga aku memunyai peliharaan baru. Aku memberinya nama Dominic Mollyto Adjah. Seminggu berlalu samakin membuat hati semakin gembira bersahabat dengan Molly adalah hal yang luar biasa. “Meong... Meong... “ Molly berteriaak yang kumengerti dia ingin minum susu dan makan sepuasnya. “Mauw... Mauw... Molly, sini Molly!” jawabku seakan aku ingin menyampaikan padanya sebentar ya Mollly.
...ooo00ooo...
Itu hanya awal persahabatanku dengan Molly. Namun tepat tanggal 9 September 2013, hari yang mulia bagiku tetapi tidak untuk Molly kecilku. Tingkah ceria, jingkrak-jingkrak tak punya aturan, kejar-kejaran dan gelut dengan cemong, rakus, pokoknya ada saja, hanya hari ini tidak ada. Merebahkan badan di tumpukan baju sobek dalam kardus hangat, lemas dan tak berdaya. Sedikit ku jamahkan tanganku ke kakinya dia langsung berteriak,
“Meong... Meong... !” serasa kesakitan menusuk-nusuk tulangnya. “Kenapa kucingku, manisku, kok gak mau makan kamu? Mauw... Mauw...! L” bertanya pada kucing seperti orang gila berbicara sendiri tapi aku yakin kucing punya perasaan dan aku dapat merasakan jawaban Molly. “Mauuuw... Meoong.. Ngaung..!” teriaknya.
Mungkin dia ingin menyampaikan curahatan dan mengeluh padaku. “Aku sakit, sangat sakit.. bisakah kamu merawatku dengan baik dan sabar, rasanya aku ingin pergi tapi aku juga ingin bersama kalian para manusia perawatku.” Begitulah katanya jika Molly dapat berbicara yang akan ia ucapkan saat aku merawatnya kala sakit ataupun sehat. Bukannya pelit tidak membawa Molly ke dokter khusus kucing, hanya saja belum ada biaya untuk ke sana. Sejenak aku merenung apa yang harus aku lakukan,
“Molly minum ya? Makan juga ini aku punya kue bolu kesukaanmu.” Aku berkata seperti itu sambil nangis.
“Mauuw...!” nadanya semakin rendah, mengeong sambil berjalan tertatih menuju tempat susu. Seteguk terasa nikmat dilanjutkan tegukan kedua, selanjutnya bukan kelegaan yang ia dapatkan. Pertama ia mulai tersendat pelan aku kira tak apa-apa, kedua, ketiga, dan keempat aku langsung membawanya, mebersihkan bulu halusnya.
“Molly tidur sini ya? Dengan cemong juga.”
“Mauuuw... Meong..” mungkin itu berarti (iya aku mau tidur di sini menemanimu dalam lelapnya tidur tanpa kesakitan)
Bukan kardus tempat ia merebahkan badan dari lelah kali ini, melainkan kamar terindahku dengan selimut kesayanganku. Malam ini aku dapat merasakan kesakitannya, sedetik ia terbaring namun bangun lagi. Kulelapkan diriku, tertidur lemas merasakan penyesalanku. Mengapa Molly bisa sakit? Mengapa aku hanya bisa memberi obat cacing, penawar racun, air kelapa, susu, dan kue bolu kesukaannya, namun tetap lemas seperti ini dan juga tersendat tak karuan. Ah aku coba tenangkan diriku. Pukul 00:11 aku terbangun karena aku merasakan Molly beranjak dari kasurku. Beberapa detik  yang kuhitung dengan jariku semapt ia menatapku saat beranjak. Tatapan matanya, bening bagai malaikat atau bidadari entah apa lagi, ini tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mata beningnya menatapaku 6 detik dan berlalu menoleh menghadap pintu kamarku. Melompat dari kasur, langsung ku mengejarnya dan berbisik, “Molly hati-hati kamu sakit jangan lompat begitu.” Aku kaget tak tau kenapa dia hanya diam menatapku. Sorotan matanya berkata padaku (jangan nangis ya kalau aku pergi nanti?)
Aku merasa prihatin dengannya tapi apalah daya tangan tak sampai? apa yang harus aku lakukan? Kugendong saja dia kebelakang, ku bersihkan badannya sampai sisa-sisa muntahannya. Kita lanjutkan menutup mata di malam hari yang kelam, terpaksa merebahkan badan untuk menyambut kegiatan esok pagi.
.........
Terdengar ayam berkokok pertanda sang fajar menjemput sinar matahari pagi untuk menghangatkan penghuni bumi, tanaman, manusia, bangunan, tanah, dan apa adanya di bumi ini. Hari yang cerah bertolak belakang dengan perasaanku saat ini. Kuangkat dan kugantungkan tas merahku ­­­­­­di bahu kiri ini tandanya aku akan berangkat bekerja. Tak lupa salam salim sayang dari mama tercinta dan keluarga perlahan kunaiki si Beti, skuter matic kesayanganku. Pagi itu tatapan Molly membawa pesan padaku seakan ia berkata (kakak, cepat pulang ya, aku akan selalu rindu kamu dan aku ingin berpisah denganmu dalam keadaan seperti ini). Entah bagaimana aku bisa mengartikan meong, tatapan mata, dan tingkahnya. Aku juga tak tahu yang aku artikan itu benar atau tidak itu hanya Tuhan yang tahu.
.........
Adikku tersayang menghampiriku saat ku turun dari si Beti. Wajah yang tak ku inginkan, sedih,
Mbak, Molly meninggal tadi siang!” katanya sambil mengelus pundakku agar aku bisa ikhlas dan bersabar.
“Haa? Yang benar saja? Kamu gak bohong? Di mana makamnya?” jawabku tersentak kaget tak terbayang olehku.
“itu mbak makamnya sebelah makam Legimin (sambil menuntunku ke makam Molly).” Kata adikku menunjukkan makam Molly tepat di belakang rumah di dekat makam Legimin, kucing pertamaku. Cemong juga mengikuti langkahku seakan dia juga berduka dalam hati. Sore ini hanya air mata yang dapat berkata kami berduka.


Salamku untukmu,  Molly,
Tak pernah kuakhiri persahabatan kita sampai di sini
Ini jalanku mencurahkan isi hatiku
Hanya pesan biasa
Aku menyayangimu.






Baca juga ya cerita yang lain, tinggal klik yang di bawah ini:
Lupa Cara Menangis (Part 1)
Lupa Cara Menangis (Part 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar