lilaemaliza

Selasa, 27 Oktober 2015

Cerpen Sahabat



Sahabat Hati
Ini adalah kisah persahabatan dua insan yang selalu bersama. Deno dan Fatimah. Hari berganti hari selalu diarungi bersama, detik demi detik selalu berlayar ke negeri yang memang mereka harus bertugas. Di taman bermain selalu berteman dengan decit papan ayunan, jungkat jungkit, dan meluncur dengan kecepatan maksimal di papan prosotan. Tempat yang selalu mereka rindukan saat memejamkan mata, mengurutkan angka-angka dari satu sampai sepuluh, agar mereka dapat bermain petak umpet.
Malam yang dingin ditengah kesunyian ruang kosong di pinggir jalan,
“Den, aku takut di rumah sendirian!” raut wajah manis dengan muka tertekuk dan merengek.
“Kenapa ndak berani? Orangtuamu di rumah kan?” sambil memegang tangan Fatimah yang sangat dingin.
“Kamu bercanda atau bergurau? Dasar! Tadi kan ku bilang AKU DI RUMAH SENDIRIAN, kok pakek tanya orangtuaku di rumah atau gak? Ya jelas ndak lah!” kata Fatimah sambil berteriak karena jengkel dengan pertanyaan Dano.
“Loh loh, kok malah marah. Bicara di rumahku aja lah!” kata Deno cuek.
Selangkah menuju istana megah bertaburan sinar lampu bagai pasar malam, berselimut taman bunga dan kolam renang bag pantai pasir putih, ini lah rumah Deno.
Deno mengetuk pintu rumah sendiri (tok tok tok), ini hal yang tak biasa.
“kenapa ketuk pintu di rumah sendiri? Aneh, gak seperti biasa?” kata Fatimah.
“Tet tot, kena deh. Siapa yang mau buka kan pintu, orang di rumah gak ada orang, nih aku yang bawa kuncinya! Yuk masuk Fat!” ejek Deno sambil cengar-cengir menunjukkan kunci rumahnya.
Wajah merah padam tampak pada raut muka si Fatimah yang gugup, heran, malu, dan kagum dengan sahabatnya yang satu ini, anak saudagar dari kampung terpencil di kota Kediri. Menurut Fatimah tak ada kata kurang dalam hidup Deno. Namun tampilan luar yang gak pernah kurang sepeser hartapun beda dengan tampilan dalam yang  hancur tanpa  kasih sayang.
“Ada makanan gak Den? Lapar nih! Huhu” rengek Fatimah sambil memegangi perutnya tanpa lihat kondisi Deno yang sendirian di rumah.
“Pasti ada dong Fat, tapi sebelum makan ke kamarku dulu yuk?”  minta Deno sembari menggandeng tangan Fatimah.
“Hah? Oke lah, yuk mari.” Dijawabnya kaget sambil mengagumi keindahan kediaman Deno walau sudah tak asing lagi baginya.
Di lepasnya baju berkeringat, sampai tak tau lagi bau apa dalam baju itu, busuk? Iya, wangipun juga iya. Di ambilnya ganti baju dari lemari yang masih semerbak harum nan wangi.
“Tet tot! Nih kamarku, mau main game gak? Tapi tetep pake rongsokan lama, laptop, yang setia menemaniku di malam dingin dan sendiriaaaan.” Katanya sambil merendah.
Fatimah bengong melolong gak kepayang, orang lagi lapar di ajak nggame, suara perutnya bernyayi semerdu suara Agnes Monica, yang berkicau setiap ia memegangnya.
“Huhu, aku lagi lapar Den malah di ajak nggame!” katanya sambil merengek memegang perut.
“Hah cerewet kamu! Upps” menutup mulutnya dengan empat jari.
Kata yang tak pernah ingin didengar dan kata yang membuat telinga Fatimah jadi panas “cerewet”,
“Kamu bilang apa tadi hah? Cerewet?”
“Tet tot, iya emang kenapa? Mau marah? Iya ha?” ledek Deno yang kangen melihat raungan si fatimah yang tak lama muncul.
“Deno jelek!!!!!” teriak dan mengejar Deno bagai banteng.
Sudut melangkah ke sudut, lapang melangkah ke lapang, sempit melangkah ke sempit, seperti tikus yang ketahuan mencuri roti, menyelinap sana menyelinap sini, tak tau aturan, merobohkan semua yang di lewati bagaikan kapal tenggelam di laut melebihi Titanic.
“Den, kamu dimana? Kalo gak pengen aku marah jangan ngatain aku cerewet dong! Den! Kamu sengaja ngumpet ya? Deno nyebelin, jelek!”  kata Fatimah ketakutan.
“Kalau kamu gak nongol sekarang, aku pulang nih! Gak ku temeni nggame dan makan, beneran aku pulang nih!” kata Fatimah ragu karena kalau pulang pun dia gak berani di rumah sendirian sambil menuju pintu belakang rumah Deno.
“Aku di kamar Fat. Lagi asyik nggame, ada apa teriak-teriak? Mau pulang?” kata Deno cuek, santai tak tau kalau Fatimah ketakutan.
“Gak pulang deh. Huhu, nggame yuk? Angry bird ya?” katanya semangat.
“Hah lagi asyik main Drive nih! Sekali-kali main Under Ground, Most Wanted, atau NFS Shift gitu dong, jangan Angry Bird terus kamu.” Saat itu Fatimah hanya diam.
Gadis cantik, manis, dan imut, Fatimah, 6 tahun yang baru merasakan menduduki kursi ruang kelas Sekolah Dasar Kanjeng 3 Kediri. Bukan bangunan yang megah dengan tanah lapang bertaburan lampu kemerlip saat petang. Bukan seperti itu, bukan juga bangunan yang hampir rubuh. SD Kanjeng 3 Kediri ini adalah SD biasa dengan fasilitas standar namun kenyamanan belajar terjamin.
Dentang jam bernyanyi terlihat jarum jam tepat membentuk sudut 90 derajat. Jarum terpanjang menunjuk angka 12, jarum terpendek menunjuk angka 9. Detik jampun berdetak, tik tok tik tok. Bagaikan suara penjual bakso dengan alunan yang lebih merdu. Malam telah larut, mereka masih asyik bermain tanpa memikirkan perut mereka yang kosong. Suara bel sempat berdering, tanda Mama-Papa Deno telah pulang atau Emak-Bapak Fatimah yang menekannya untuk mencari anaknya yang tak ada di kediaman mereka.
Namun kalau Fatimah pulang malam, ayahnya yang selalu mengamuk, dan hanya ibunya yang menolong. Biarpun begitu Emak-Bapaknya gak pernah mencarinya,
“Pak anakmu nyandi yo? (pak anakmu kemana ya?)
“Anakmu barang, halah paling nok omahe Deno. Bocah kok betahe neng kerajaane uwong. Ndang turu kono mak sliramu! (itu anakmu juga, halah paling-paling di rumah Deno. Anak kok sukanya di rumah orang. Sudah cepet tidur kamu mak!).”
Itu lah kata-kata yang selalu dikatakan orangtua Fatimah jika ia tidak pulang, namun jika ia menginjakkan kaki di rumah orangtuanya untuk pulang pasti di amuk oleh bapaknya, kenapa keluar gak dicari pulang-pulang kok diamuk? Hmm
Satu jam berlalu tiba-tiba Deno berkata,
“Fat gak makan?”
“Hah. Em (sambil gigit jari) yuk yuk aku lapar Den!” sangat polosnya ia berkata itu.
Semua makan malamnya disiapkan pembantu Deno yang sudah habis jadwalnya. Memang rumah itu sepi jam 8, karena pembantunya dan pengurus khusus Deno sudah pulang maka dari itu ia selalu makan malam sendiri bahkan ia jarang makan malam, tapi kali ini tidak, kan ada Fatimah.
“Ayo Fat dinikmati, diambil semua juga boleh kok!” kata Deno sambil bercanda.
“Haha huhu ayo kita makan bersama-sama!” dengan senang ia mengambil sendok nasi sambil menuangkannya ke piring mendadak ia berhenti.
“Loh kenapa bengong Fat. Ayo diambil terus makan bareng!”
“Emak dan bapakku di rumah makan apa ya Den, aku jadi gak tega kalau makan tanpa mereka.” Kata Fatimah sambil mengembalikaan sendok nasinya.
Serentak Deno terbangun mengapa ia sempat gak kepikiran orangtuanya bukan karena kesibukannya tapi mungkin karena Deno jengkel gak pernah di temeni makan malam. Mendengar ucapan Fatimah ia merenung dan berkata dalam hati (enak kalau di rumah Fatimah, ada orangtua, ada adik kakak laki-laki yang bisa diajak nggame kalau selesai belajar).
“Aha.. gimana kalau makanannya kita bawa ke rumahmu dan kita makan bersama di sana? Lagian aku juga sendiriran di rumah.” Kata Deno dengan ide gilanya tapi ia tampak semangat.
“Iya ide bagus itu emak dan bapakku kan sudah pulang, kakakku juga sudah pulang les, jadi pasti rame di rumahku. Tapi bawa-bawa makanan nanti kita disangka maling gimana Den? Lagian ini kan sudah malam.” Kata Fatimah
(srek srek srek) suara langkah tak asing lagi di telinga Deno, langkah berat yang biasa ia dengar saat larut malam ketika ia berbaring di tempat tidur kesayangannya.
“Ups.. mereka datang! Mama-Papa ku datang, cepet-cepet aku harus tidur. Kamu gak apa-apa kan tidur di sofa? Kalo belum tidur bakal kena semprot marah mereka nih.”
 “Assalamualaikum!” kata mama Deno dengan  suara lembut.
“Selamat malam Deno! Udah tidur nak?” kata papa Deno.
Mau gak dijawab nanti dosa, kalau dijawab pasti ditanya kenapa belum tidur? Kalau jawab nggame pasti dimarahi, kalo jawab belajar itu namanya bohong. Anak kecil sudah mikir panjang seperti itu, memang hal yang tidak biasa. Tiba-tiba Fatimah menjawab,
“Waalaikumsalam ibuk, selamat malam bapak.” Kata Fatimah gemeteran, gugup, dan takut (dengan panggilan ibuk dan bapak sama dengan tante dan om, ini bahasa yang biasa digunakan di kampung Kanjeng).
Serentak Deno kaget dan berkata dalam hati (aduh Fatimah gimana sih tu anak dibilangi apa gak takut kena marah mamaku apa?)
“Fatimah, kok di sini belum pulang, apa gak dicari emakmu nak?”
“Gak ibuk, Fatimah mau tidur sini aja deh, gakpapa kan buk?”
“Gakpapa, kamu tidur di kamar sebelah Deno aja ya? Tapi Deno kemana ya kok kamu gak nggame atau main petak umpet di rumah seperti biasa? Di kamar atau sudah tidur dia?”
“Huhu buk aku bingung jawab yang mana, pokok Deno tadi lari ke atas sana aku juga gak tau ibuk.”
Tiba-tiba Deno nongol dengan raut muka ketakutan dan berpikir yang tidak-tidak, layaknya kucing jatuh cinta datangnya emang tiba-tiba. Deno telah salah selama ini, dia pikir ibunya akan marah jika ia tidak tidur ketika larut malam, ternyata ibu Deno hanya bertanya padanya kenapa belum tidur dan apa saja yang dilakukan Deno ketika ia bersama Fatimah.
....
Fajar menampakkan sinarnya begitu cepat, alarm ayam telah berbunyi dengan kokokan merdu nan alami. Sehabis subuh  Fatimah perlahan mencari angin dari jendela kamar yang sedang ia tempati, ia ingin pamit pulang ternyataa di rumah hanya ada pembantu dan yang khusus merawat Deno, entah di mana orangtuanya setelah bertanya-tanya ia menebak kaalau orangtuanya sudah berangkat kerja. Perlahan pintu kamar terbuka, Deno datang,
“Kenapa, mau pulang? Pasti gak boleh sama mama Eti yang ngrawat aku itu, pasti suruh sarapan dulu, mandi, dll.”
“Aku nanti dimarahi ibuku Den, gimana kalau menyelinap lewat jendela ini?”
“Ide bagus Fat, tapi kita gak sekolah apa hari ini?”
“Berangkat dari rumahku aja, bawa peralatan semua terus langsung kita cabut, c’mon!”
“Oke oke, tapi kenapa kalau sama-sama menyelinap kayak maling, kemarin malem gak kemarin aja pulangnya?”
“Ah itu sendiri aku juga gak tau, kemarin gelap sekarang terang. Gitu aja deh jawabnya, cepet!”
Begitu dekat jarak rumah Deno dan Fatimah sedekat hubungan mereka sebagai sahabat yang seakan menjadi saudara. Diketuknya pintu dengan perlahan waktu menunjukkan pukul 05.00 tepat terlihat di dinding depan rumah.
“Emak....???”
“Emak....??!”
Dua kali ia memanggil baru terdengar dari belakang, ternyyata sang emak masih menyiapkan sarapan,
“Heh bocah kemana aja? Kalau gini langsung ke belakang aja kenapa, kan emak biasanya juga masak, cuci piring, udah repotlah, malah panggil-panggil. Ayo masuk! (serentak kaget) heh kamu bawa anak orang juga?”
“Dia cuma mau numpang mandi dan sarapan, berangkat sekolah bareng, nati sore pulang sekolah dia pulang kok mak.”
“Iya Deno?”
“Iya tante, Deno nanti pulang sekolah mau kembali ke rumah.” Katanya sambil gemeteran takut dimarahi.
“Oke masuk! Nanti sehabis sekolah langsung pulang ke rumahmu sana ya? (sambil menunjuk rumah Deno)  Biar Fatimah yang ngantar nanti, sekarang kamu mandi, soalnya di sini gantian.”
......
Bel pulang sekolah berbunyi. Mama-Papa Deno melihat jam tangan mereka masing-masing, seakan ingin cepat pulang karena ini hari ulang tahun Deno. Detik berjalan, menitpun berdetak, dan jam tanganpun berdering menunjukkan pukul 2 sore. Segera nyalakan Honda Jazz masing-masing. Mereka memasuki wilayah kampung Kanjeng, terlihat mama dari arah selatan dan papa dari arah timur. Saat menuju teras sudah disusul semua pembantunya, perawat khusus, dan supir. Mereka bilang Deno tak di rumah. Betapa kagetnya  Mama-Papa Deno.
Bukan jam yang bercerita, hanya menit yang berbicara dan mengantar mereka ke tempat tinggal Fatimah, yang memang hanya berjarak 1 km dari rumah Deno. Tak disangka dan tak diduga nyonya Belina memasuki kawasan yang penuh debu tapi tetap segar dikelilingi tanaman indah nan membentang, beberapa hektar yang selalu digarap para petani, serta tanaman-tanaman besar seperti lambang koperasi.
“Assalamualaikum” kata pak supir sambil mengetuk pintu rumah Fatimah.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatu. Ada yang bisa saya bantu?” kata ibu dari Fatimah.
“Em begini buk, maaf sebelumnya mengganggu ya? Saya orangtuanya Deno, apa Deno ada disini?”
“Oh silakan masuk nyonya, ada ada Deno ada di sini, di kamar bersama Fatimah, anak saya.”
Perlahan tangannya mendekat ke daun pintu kamar, dibukanya sedikit agar bisa mengintip. Deno memerankan seorang ayah yang bernama Dewana, itu adalah papanya dan Fatimah memerankan ibu yang bernama Belina, mereka merawat anak bersama yang bernama Deno, yang sebenarnya anaknya hanya sebatas boneka tedi bear, tapi itu cukup mewakili. Mereka hidup bahagia. Itu gambaran hati Deno selama ini.

Cerpen Jomblo


Jomblo Unik

Hai, para penyandang status jomblo! Kapan ya ada penobatan jomblo sejati? Kalian jomblo bukan berarti tak laku hanya ‘status’ tapi tiap hari kalian juga makan sama dengan yang punya pacar dan tetap bernafas walaupun jomblo jadi nikmati aja lagian di KTP juga ndak pernah tuh ada tulisan “status : jomblo”. Jomblo adalah barang antik, unik, dan mahal. Jomblo itu istimewalah pokoknya. Wih yang jomblo langsung senyum-senyum bangga. Stop senyum, ingat! masak kalian mau jomblo selamanya? Terserah kalian ya.
Namaku Verda, aku punya temen namanya Farhan. Cowok aneh bin ajaib tak pernah bisa move on bermimpi dapetin pujaan hatinya yang dulu hilang bakal kembali lagi terjun dari atap  ketika dia pakai parfum Axe.
“Ver, makan yok!” tiba-tiba Farhan nylonong pas aku lagi ngliatin daun.
“eh ni anak gak tau apa aku lagi konsen.” Kataku jutek.
“ngapain si ngliatin daun mulu kegiatan lu?” Farhan heran.
“kali aja nemu nama jodoh aku disini?” kataku innocent.
“gilaaa ya mana ada, aneh, dasar ulet bulu.” Celoteh Farhan sambil berlalu menapakkan kakinya ke kantin.
“eh eh makan? Bayarin ya? Lu kan cowok yang lagi muter-muter cari pasangan harus baik dong sama cewek.” Aku ngerayu ngejar Farhan dengan kekuatan super.
“hah oke oke cepetan ga tau apa cacing-cacing udah nyanyi di perutku.” Katanya jutek.
“eh eh jangan di kantin, di tempat pak Joko aja ntar bisa diskon asal kita cuci piring kayak biasa.” Bujukku.
“ogah ah, kalau ada cewek liat aku mau taruh mana muka ini, Ver?” jawabnya kayak orang sombong.
“sini di tasku muat kan muka lu?” jawabku tanpa beban dan polos.
“Verda!!” kata Farhan agak gregetan.
Jalan kaki ke tempat pak Joko cuma butuh sepuluh menit. Farhan kerjaannya nyanyi mulu tapi kalian liat suaranya gak karuan ya apalagi didengerin tambah parah deh. Mending aku denger panci yang aku seret-seret daripada denger suara dia yang bikin telingaku bengkak.
“Han, suara lu bagus banget ya? Sampe aku mau nitip telingaku di pohon-pohon itu daripada aku taruh di sini.” Kataku sambil menutup telinga.
“ini di tasku juga cukup nampung telinga lu?” Kata Farhan yang rasa-rasanya balas dendam soal tadi.
Tiba-tiba gerimis tak kompromi tak sms dulu tak ada pengumuman mau hujan langsung aja air nya turun dari langit, kalau hujan cowok ganteng mah aku mau nangkap satu. Hus hus lamunanku tentang cowok ganteng berhamburan karna air hujan nancep di kepalaku ditambah Farhan narik-narik aku kayak binatang peliharaannya, untung sudah sampai di depan warung pak Joko, warung nasi pecel. Ya karna adanya ini dan cukup di kantong suka tak suka harus suka, pecel pak Joko ini enak banget, beda banget, cetar banget.
 “Pak, pecel dua teh anget dua.” Kataku yang sudah tak sabar mecel.
“Ver, Ver!” Farhan nabok pundak aku.
“apa an Han? Santai aja dong!” bentakku.
“Lu gak pengen kayak gitu?” kata F arhan sambil nunjuk orang pacaran neduh dari pasukan air langit, enak banget ya neduh bareng pacar. Bukannya kayak aku neduh sama orang aneh bin unik ini.
 “Ver lu tau gak si aku tersiksa kalo terus-terusan jomblo gini?”
“hmm...” kataku sambil menikmati makananku yang baru dianter pak Joko.
“makan nih Han, keburu anyep.” Kataku lagi mengalihkan perhatiannya soalnya kalau aku jawab pasti dia akan cerita masa lalunya yang selalu senang-senang dengan bidadarinya sampai aku ngantuk dengernya.
“Ver, denger gak si yang tadi aku bilang? Ah sekarang atau nanti juga anyep kalau makannya bareng lu. Beda lagi kalau sama Tiara.” Kata Farhan.
Aku tertawa kecil dan berkata dalam hati, “mulai deh nih anak ngungkit masa lalu tentang orang yang menyelamatkannya dari status jomblo di masa lalu.”
Tapi tiba-tiba Farhan menghentikan tanganku yang mau mengendarai sendok menuju terowongan berlidah,
“Ver dengerin dong.” Farhan merengek kayak bayi kucing.
“bawel amat si! lu tuh ya ngapain juga tersiksa?”
“sekali lagi lu bawel aku pulang nih Han, kamar kosku sudah menungguku datang.” Tambahku dengan kesal.
Aku sebenernya kasian liat dia tak bisa move on, gak kayak aku, walaupun jomblo aku enjoy aja malah bisa menikmati masa mudaku lebih leluasa bareng temen-temenku yang unik salah satunya anak kucing ini, Farhan. Tapi emang dia siapa aku kok aku kasihani.
“Ver, ini tuh ujan ya Ver, romantis dikit kek kayak pacaran gitu, pantesan aja lu jomblo dari lahir, orang jutek kayak gini sifat lu kayak bebek.” Farhan mulai nyeloteh, tak apalah walaupun sedikit nylekit tapi setidaknya dia tak bahas Tiara.
“eh lu bilang apa Han, jomblo? Idih jomblo bilang jomblo, mending aku jomblo bahagia dari pada lu jomblo ngenes, tak bersyukur banget si.” Kataku tambah kesal setelah itu sengaja aku diem seribu tulisan, eh seribu bahasa maksudku.
Gak terasa makanan dihadapan aku udah bersih tersikat sendok menuju terowongan melewati jalan makadam dan sampai di kantong ajaib yang diciptakan Tuhan untukku, lambung, selanjutnya aku sruput teh anget yang nikmatnya tiada tiganya. Di luar warung dia sempatkan nglirik cewek-cewek yang neduh, sekali-kali dia ngajak ngobrol tapi dicuekin hahahahaha yang penting usaha Farhan Farhan.
“Han tambah deres nih kejebak hujan kita duduk dulu yok di sana?” aku paksa ajak Farhan di sisi yang sepi. Kita tak jadi cuci piring karna Farhan membayar penuh, alasannya hanya karna banyak cewek di situ, emang ada yang kenal Farhan ah heran deh.
”Ver aku bener-bener keinget wajah Tiara semakin aku inget semakin aku tersiksa dengan senyuman manisnya, andai aja dia di sini.” Kata Farhan cengeng.
 “hah Tiara lagi, sebagai temen yang baik aku kasih tau ya apa itu mantan, udah lupakan yang jelas kalian udah tak pacaran lagi, pacaran itu mengalir lewat pipa-pipa cinta dan cinta bercampur dengan darah dan jika kebanyakan bakal kayak virus, ya kayak lu gini terserang virus pacaran yang dosis cintanya kebanyakan, sekarang aku tanya ya saat lu ngerjain tugas dan mendesak, penting, buat syarat uts dan saat itu lu dapat chat dari Tiara. Pilih mana lu? Ngaku?” kataku asal jeplak padahal aku juga gak ngerti pacaran itu apa.
“trus kalo aku jawab pertanyaan lu, lu mau ngasih hadiah? kayak kuis-kuis di TV aja.” Kata Farhan.
“okedeh aku jawab, ya aku bales Tiara dulu lah, kalau asyik ya kadang bablas sampai-sampai lupa tugas seakan-akan dia itu ada di sampingku Ver, nempel lengket kayak permen karet, eh sadar-sadar cuma bantal guling deh.” Tambahnya .
“tuh kan bener dan setelah itu lu ngerjain tugas kelabakan kayak diboyaki Satpol PP, bener tak? Padahal kalau lu tak chatting sama Tiara bakal selesai sebelum waktunya kan lu bisa santai di kos similir-similir kipas angin berasa di pantai.” Kataku berusaha menyadarkan temanku bahwa jomblo itu enak. Tapi kita malah berdebat daripada persahabatanku sesama orang aneh kandas mending aku yang mengalah.
Temen aku yang ini hidup tak pernah bisa bangkit ataupun bahagia malah selalu ngenes jadi jomblo, ngiri sama temen-temen yang pacaran. Kalau aku si nganan aja deh daripada ngiri. Terkadang yang pacaran juga ngiri sama kita yang jomblo. Mereka pikir kita tak pernah galau mikirin pacar dan tak punya masalah cinta. Ayo bangkit para penyandang jomblo kalian bisa!
Kata-kataku tidak mempan untuk temenku yang namanya Farhan, entah kepanjangannya Farhantu Kuntilanak juga ga tau, yang jelas dia tetep ngeyel,
“Ver pacaran itu ya bisa bikin kita semangat Ver, kalau kita lagi suntuk nugas ada yang dijadiin sasaran curhat.” Katanya membela tapi tak tau mau bilang apa lagi.
“emang lu pikir dia psikolog. Iya Han Farhan aku tau, tapi kan kita juga punya ortu untuk curhat.” Aku sok yes.
“iya Ver itu berlaku untuk lu yang deket sama ortu sedangkan aku anak ke tujuh ya ga tau dianggap anak atau enggak, kalau aku sambat masalah kuliah ke ortu mah mereka malah nyuruh aku berhenti kuliah dan ngurusi sapi di rumah.”
“nah padahal harapan ortu lu nguliahin lu apa coba? Kan biar tak usah ngurus sapi biar bisa jadi dokter naik helikopter muter-muter sampai mblenger, harusnya lu sadar tak usah pacaran dulu.”
“sekarang Ver cari itu susah Ver, ntar abis kuliah wajahku tambah jelek tambah gak laku, yang gini aku kayak bintang Hollywood yang mau cuma Tiara apalagi ntar kalau tambah jelek? Iya kalau ntar dapet yang baik trus cantik, lah kalau dapet yang gak baik? Tapi kalo cantik si gak masalah.” Katanya tetep ngengkel.
“lu mah cowok tapi rempong ya Han, hadeh heran deh, kan udah ada yang ngatur jodoh itu tinggal kita usaha.”
“nah ini aku usaha Ver.” Dia semakin kesal.
“usaha apa an lu masih ngarepin Tiara juga. Kalo usaha lu masih belum berhasil mari kita jadi jomblo bahagia. Semangat 45.”
“Bangga banget lu jadi jomblo.” Celotehnya semakin menunjukkan dia kalah argumen.
“ih bangga dong buktinya aku saat ngerjain tugas tak terkendala chat pacar. Walaupun semua kendala bukan gara-gara pacaran si yang jelas aku ndak ngenes, hehe kalo aku dapat pacar jatuh dari langit ya bersyukur. Tapi kalo jomblo aku juga bersyukur. Sawang sinawang ae lah! Belum tentu kan yang pacaran gitu bahagia Han? Trus coba bayangin kalo LDR an gitu laaaamaaaa ndak ketemu.”
“ ya belum tentu tapi kan gak menyandang status jomblo, kan LDR seru bisa chatting dan kangen-kangenan gitu Ver.”
“itu namanya pacaran virtual, ahsudahlah pro kontra kita ini tak ada ujungnya, oke iya deh aku hargai pendapatmu dan lu hargai pendapat aku. Kan sekarang kita lagi ga bisa move on nah jadi aja jomblo bahagia tapi jangan lama-lama nanti jadi jomblo abadi, ya gila lah.”
“apa lu bilang tadi? Kita gak bisa move on? Aku gak kali ya, lu tuh, lu emang punya mantan?”
“iya juga si aku tak punya ah sudahlah balik kos udah ditunggu pacar alias kasur kosku.” Kataku sambil ketawa.
“yaudah yok Ver, ngomong apa si kita barusan?”
Aku diam tak menjawab Farhan dan aku sadar semua pendapat itu wajib dihargai karna perbedaan itu indah termasuk perbedaan antara jomblo bahagia dan jomblo ngenes yang manapun kalian tetaplah Be Yourself!

Selasa, 13 Oktober 2015

Cerpen Molly



Molly, Kisah Sahabat Sejati
Memang tempat yang tak layak untuk binatang lahir, berteman sepi dan dingin tanpa ibu disiang hari saat perut waktunya diisi dan malam hari saat badan terjaga di pelukannya. Itu hidup yang akan dia jalani jika tak ada orang yang iba padanya. Tetapi tampaknya semua orang iba, kasian, bahkan menangis dalam hati jika melihat dia, namun tak ada asa untuk menemaninya berdamping di kasur empuk berteman selimut dengan susu hangat setiap pagi, memandikan setiap minggu, dan memberi isi perut pemompa tenaga untuk setiap dia lapar. “Molly” begitu aku memanggilnya, walaupun belum menjadi milikku. Bukan sok imut pakai nama layaknya manusia tapi binatang berbulu halus ini memang benar-benar imut.
Pada kerumunan tak terhitung betapa banyak orang yang ke sana ke mari sibuk dengan urusan mereka. Kumelangkah menuju penjual sayur tapi terhenti sesaat dikeramaian tepat di penjual sepatu. “Molly” aku menemukan raganya di kolong penjual sepatu. Aku tak habis pikir mengapa dia ada di situ? Kutatap mata beningnya dan dia membalas tatapanku seakan ingin mengejarku dan memintaku membawanya pulang bersamaku. Molly memnaggilku dengan lirih namun merdu tapi saat aku menoleh dia menjauh. Sengaja kukejar sepertinya dia ingin bermain, bersembunyi di sebelah penjual baju, memang badannya tak terlihat tapi ekor mungilnya kupandang dengan jelas. Aku menjauhinya, namun dia kembali ke kolong penjual sepatu. “Mah, lucu banget! Bawa pulang ya mah?” aku merengek pada ibuku yang tepat di depanku. “Gak usah! Buat apa dibawa pulang, nanti dicari induknya.” Ibuku mencoba melarangku membawanya pulang.
Terdengar Molly tetap memanggilku seakan dia brontak. Aku dan ibuku melanjutkan perjalanan menyusuri setiap lorong jalan kecil dan becek di Pasar Pagu, pasar yang ramai di desaku. Penjual sayur tujuan pertama kita. Terpaksa sangat terpaksa aku meninggalkan binatang lucu itu. Memang banyak di tempat ini tapi dia berbeda. “Molly” kucing berbulu halus berwarna beige atau biasa disebut krem bertabur putih di wajah, dada hingga ke perutnya. matanya yang sipit menambah kecantikkannya terpancar ke seluruh penjuru pasar. Dalam hati aku berkata (Dah Molly... pasti suatu saat kita ketemu lagi!)
Kunaiki sepeda anginku, selangkah demi selangkah. Waktu memakan roda yang berputar seirama dengan detak jam yang melingkar di tangan kiriku. Hanya lima langkah dari rumah begitu dekat langsung kuceritakan tentang kucing itu tadi,
“Mas, aku tadi liat kucing lucu, sekitar umur dua minggu , imut banget, tapi sayangnya sama mamah gak boleh dibawa pulang!” Hanya cerita beberapa detik bisa mengubah masku serentak menanggapiku, “Ayo diambil aku anter. Gakpapa! Bilang aja yang minta aku.” Maklum langsung bilang mau anterin ambil kucing karena hanya lima langkah dari rumah sudah menginjak mulut Pasar Pagu. “Gak usah!” tiba-tiba ibuku menabrak percakapan kita dengan nada tinggi.
“Hah yasudahlah, kenapa juga gak boleh segala? Biar si cemong punya temen.” Aku kesel sudah. Si cemong  yang kumaksud itu kucing yang sekarang di rumahku, gendutnya minta ampun. Jantan pula, berjiwa melindungi bagai superhero. Spiderbatrobinman, sebutan yang biasa aku gunakan untuknya hanya inisial saja. Ah sudah itu kucingku yang lain, kembali lagi ke Molly!
Malam terasa lebih panjang, semakin dingin mengikat sampai ke tulang. Suara jangkrik yang mengiringi lamunan sesaatku tentang Molly. Selimut tebalku berbahan wol dengan kasur empuk seprai biru bergambar pucca yang nyaman namun tetap membawaku dalam dingin dan gelapnya malam menusuk hingga ke hati. Bukan karena dingin ini aku mengeluh. Hanya saja bagaimana Molly kecil tak ada ibu disampingnya, dia sendirian tanpa teman duduk merenung, menangis, dan mengeong tanpa nada. Sejenak aku berpikir di mana Molly akan berteduh jika titik air selalu mengguyur setiap sore. Tanpa susu hangat maupun dekapan ibu setiap malam. Mulai kututup mataku kupejamkan perlahan, sejenak terbuka tak kusangka ibu datang menghampiriku dan bertanya,
“Sudah tidur nak?” padahal tampak jelas aku masih membuka mata. “Iya mah kenapa?” jawabku kesel tetapi tetap senyum. “Besok kita ke pasar ambil kucing yang tadi, kasian kan sendirian. Musimnya ini lagi bingung, hujan gak, kemarau juga gak. Banyak hujannya jadi kasian  kan? Toh sebentar lagi bulan puasa, makanan pasti banyak, setidaknya gak kurang.”
“Oke mah! Tapi kalau puasanya habis tetep banyak makanan kan mah? Haha” sambil ketawa saking senengnya.
Entah ada angin apa ibuku bilang besok mengambil Molly ke pasar bukan badai atau topan yang merubah pikiran ibuku tentang kucing itu. Kabar indah ditengah malam musim hujan membuat hati riang. Serentak ku keluarkan buku diary yang menampung curhatanku yang tertulis. Waktu terus berjalan namun seakan aku ingin mengajaknya berlari mengejar hari esok hingga bertemu mentari pagi tersenyum manis padaku.
Mungkin terlalu cepat juga aku memunyai peliharaan baru. Aku memberinya nama Dominic Mollyto Adjah. Seminggu berlalu samakin membuat hati semakin gembira bersahabat dengan Molly adalah hal yang luar biasa. “Meong... Meong... “ Molly berteriaak yang kumengerti dia ingin minum susu dan makan sepuasnya. “Mauw... Mauw... Molly, sini Molly!” jawabku seakan aku ingin menyampaikan padanya sebentar ya Mollly.
...ooo00ooo...
Itu hanya awal persahabatanku dengan Molly. Namun tepat tanggal 9 September 2013, hari yang mulia bagiku tetapi tidak untuk Molly kecilku. Tingkah ceria, jingkrak-jingkrak tak punya aturan, kejar-kejaran dan gelut dengan cemong, rakus, pokoknya ada saja, hanya hari ini tidak ada. Merebahkan badan di tumpukan baju sobek dalam kardus hangat, lemas dan tak berdaya. Sedikit ku jamahkan tanganku ke kakinya dia langsung berteriak,
“Meong... Meong... !” serasa kesakitan menusuk-nusuk tulangnya. “Kenapa kucingku, manisku, kok gak mau makan kamu? Mauw... Mauw...! L” bertanya pada kucing seperti orang gila berbicara sendiri tapi aku yakin kucing punya perasaan dan aku dapat merasakan jawaban Molly. “Mauuuw... Meoong.. Ngaung..!” teriaknya.
Mungkin dia ingin menyampaikan curahatan dan mengeluh padaku. “Aku sakit, sangat sakit.. bisakah kamu merawatku dengan baik dan sabar, rasanya aku ingin pergi tapi aku juga ingin bersama kalian para manusia perawatku.” Begitulah katanya jika Molly dapat berbicara yang akan ia ucapkan saat aku merawatnya kala sakit ataupun sehat. Bukannya pelit tidak membawa Molly ke dokter khusus kucing, hanya saja belum ada biaya untuk ke sana. Sejenak aku merenung apa yang harus aku lakukan,
“Molly minum ya? Makan juga ini aku punya kue bolu kesukaanmu.” Aku berkata seperti itu sambil nangis.
“Mauuw...!” nadanya semakin rendah, mengeong sambil berjalan tertatih menuju tempat susu. Seteguk terasa nikmat dilanjutkan tegukan kedua, selanjutnya bukan kelegaan yang ia dapatkan. Pertama ia mulai tersendat pelan aku kira tak apa-apa, kedua, ketiga, dan keempat aku langsung membawanya, mebersihkan bulu halusnya.
“Molly tidur sini ya? Dengan cemong juga.”
“Mauuuw... Meong..” mungkin itu berarti (iya aku mau tidur di sini menemanimu dalam lelapnya tidur tanpa kesakitan)
Bukan kardus tempat ia merebahkan badan dari lelah kali ini, melainkan kamar terindahku dengan selimut kesayanganku. Malam ini aku dapat merasakan kesakitannya, sedetik ia terbaring namun bangun lagi. Kulelapkan diriku, tertidur lemas merasakan penyesalanku. Mengapa Molly bisa sakit? Mengapa aku hanya bisa memberi obat cacing, penawar racun, air kelapa, susu, dan kue bolu kesukaannya, namun tetap lemas seperti ini dan juga tersendat tak karuan. Ah aku coba tenangkan diriku. Pukul 00:11 aku terbangun karena aku merasakan Molly beranjak dari kasurku. Beberapa detik  yang kuhitung dengan jariku semapt ia menatapku saat beranjak. Tatapan matanya, bening bagai malaikat atau bidadari entah apa lagi, ini tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mata beningnya menatapaku 6 detik dan berlalu menoleh menghadap pintu kamarku. Melompat dari kasur, langsung ku mengejarnya dan berbisik, “Molly hati-hati kamu sakit jangan lompat begitu.” Aku kaget tak tau kenapa dia hanya diam menatapku. Sorotan matanya berkata padaku (jangan nangis ya kalau aku pergi nanti?)
Aku merasa prihatin dengannya tapi apalah daya tangan tak sampai? apa yang harus aku lakukan? Kugendong saja dia kebelakang, ku bersihkan badannya sampai sisa-sisa muntahannya. Kita lanjutkan menutup mata di malam hari yang kelam, terpaksa merebahkan badan untuk menyambut kegiatan esok pagi.
.........
Terdengar ayam berkokok pertanda sang fajar menjemput sinar matahari pagi untuk menghangatkan penghuni bumi, tanaman, manusia, bangunan, tanah, dan apa adanya di bumi ini. Hari yang cerah bertolak belakang dengan perasaanku saat ini. Kuangkat dan kugantungkan tas merahku ­­­­­­di bahu kiri ini tandanya aku akan berangkat bekerja. Tak lupa salam salim sayang dari mama tercinta dan keluarga perlahan kunaiki si Beti, skuter matic kesayanganku. Pagi itu tatapan Molly membawa pesan padaku seakan ia berkata (kakak, cepat pulang ya, aku akan selalu rindu kamu dan aku ingin berpisah denganmu dalam keadaan seperti ini). Entah bagaimana aku bisa mengartikan meong, tatapan mata, dan tingkahnya. Aku juga tak tahu yang aku artikan itu benar atau tidak itu hanya Tuhan yang tahu.
.........
Adikku tersayang menghampiriku saat ku turun dari si Beti. Wajah yang tak ku inginkan, sedih,
Mbak, Molly meninggal tadi siang!” katanya sambil mengelus pundakku agar aku bisa ikhlas dan bersabar.
“Haa? Yang benar saja? Kamu gak bohong? Di mana makamnya?” jawabku tersentak kaget tak terbayang olehku.
“itu mbak makamnya sebelah makam Legimin (sambil menuntunku ke makam Molly).” Kata adikku menunjukkan makam Molly tepat di belakang rumah di dekat makam Legimin, kucing pertamaku. Cemong juga mengikuti langkahku seakan dia juga berduka dalam hati. Sore ini hanya air mata yang dapat berkata kami berduka.


Salamku untukmu,  Molly,
Tak pernah kuakhiri persahabatan kita sampai di sini
Ini jalanku mencurahkan isi hatiku
Hanya pesan biasa
Aku menyayangimu.






Baca juga ya cerita yang lain, tinggal klik yang di bawah ini:
Lupa Cara Menangis (Part 1)
Lupa Cara Menangis (Part 2)