Sahabat
Hati
Ini
adalah kisah persahabatan dua insan yang selalu bersama. Deno dan Fatimah. Hari
berganti hari selalu diarungi bersama, detik demi detik selalu berlayar ke
negeri yang memang mereka harus bertugas. Di taman bermain selalu berteman
dengan decit papan ayunan, jungkat jungkit, dan meluncur dengan kecepatan
maksimal di papan prosotan. Tempat yang selalu mereka rindukan saat memejamkan
mata, mengurutkan angka-angka dari satu sampai sepuluh, agar mereka dapat
bermain petak umpet.
Malam
yang dingin ditengah kesunyian ruang kosong di pinggir jalan,
“Den,
aku takut di rumah sendirian!” raut wajah manis dengan muka tertekuk dan
merengek.
“Kenapa
ndak berani? Orangtuamu di rumah kan?” sambil memegang tangan Fatimah yang
sangat dingin.
“Kamu
bercanda atau bergurau? Dasar! Tadi kan ku bilang AKU DI RUMAH SENDIRIAN, kok
pakek tanya orangtuaku di rumah atau gak? Ya jelas ndak lah!” kata Fatimah
sambil berteriak karena jengkel dengan pertanyaan Dano.
“Loh
loh, kok malah marah. Bicara di rumahku aja lah!” kata Deno cuek.
Selangkah
menuju istana megah bertaburan sinar lampu bagai pasar malam, berselimut taman
bunga dan kolam renang bag pantai pasir putih, ini lah rumah Deno.
Deno
mengetuk pintu rumah sendiri (tok tok tok), ini hal yang tak biasa.
“kenapa
ketuk pintu di rumah sendiri? Aneh, gak seperti biasa?” kata Fatimah.
“Tet
tot, kena deh. Siapa yang mau buka kan pintu, orang di rumah gak ada orang, nih
aku yang bawa kuncinya! Yuk masuk Fat!” ejek Deno sambil cengar-cengir menunjukkan kunci rumahnya.
Wajah
merah padam tampak pada raut muka si Fatimah yang gugup, heran, malu, dan kagum
dengan sahabatnya yang satu ini, anak saudagar dari kampung terpencil di kota
Kediri. Menurut Fatimah tak ada kata kurang dalam hidup Deno. Namun tampilan
luar yang gak pernah kurang sepeser hartapun beda dengan tampilan dalam
yang hancur tanpa kasih sayang.
“Ada
makanan gak Den? Lapar nih! Huhu” rengek Fatimah sambil memegangi perutnya
tanpa lihat kondisi Deno yang sendirian di rumah.
“Pasti
ada dong Fat, tapi sebelum makan ke kamarku dulu yuk?” minta Deno sembari menggandeng tangan
Fatimah.
“Hah?
Oke lah, yuk mari.” Dijawabnya kaget sambil mengagumi keindahan kediaman Deno
walau sudah tak asing lagi baginya.
Di
lepasnya baju berkeringat, sampai tak tau lagi bau apa dalam baju itu, busuk?
Iya, wangipun juga iya. Di ambilnya ganti baju dari lemari yang masih semerbak
harum nan wangi.
“Tet
tot! Nih kamarku, mau main game gak? Tapi tetep pake rongsokan lama, laptop, yang
setia menemaniku di malam dingin dan sendiriaaaan.” Katanya sambil merendah.
Fatimah
bengong melolong gak kepayang, orang lagi lapar di ajak nggame, suara perutnya
bernyayi semerdu suara Agnes Monica, yang berkicau setiap ia memegangnya.
“Huhu,
aku lagi lapar Den malah di ajak nggame!” katanya sambil merengek memegang
perut.
“Hah
cerewet kamu! Upps” menutup mulutnya dengan empat jari.
Kata
yang tak pernah ingin didengar dan kata yang membuat telinga Fatimah jadi panas
“cerewet”,
“Kamu
bilang apa tadi hah? Cerewet?”
“Tet
tot, iya emang kenapa? Mau marah? Iya ha?” ledek Deno yang kangen melihat
raungan si fatimah yang tak lama muncul.
“Deno
jelek!!!!!” teriak dan mengejar Deno bagai banteng.
Sudut
melangkah ke sudut, lapang melangkah ke lapang, sempit melangkah ke sempit,
seperti tikus yang ketahuan mencuri roti, menyelinap sana menyelinap sini, tak
tau aturan, merobohkan semua yang di lewati bagaikan kapal tenggelam di laut
melebihi Titanic.
“Den,
kamu dimana? Kalo gak pengen aku marah jangan ngatain aku cerewet dong! Den!
Kamu sengaja ngumpet ya? Deno nyebelin, jelek!”
kata Fatimah ketakutan.
“Kalau
kamu gak nongol sekarang, aku pulang nih! Gak ku temeni nggame dan makan,
beneran aku pulang nih!” kata Fatimah ragu karena kalau pulang pun dia gak
berani di rumah sendirian sambil menuju pintu belakang rumah Deno.
“Aku
di kamar Fat. Lagi asyik nggame, ada apa teriak-teriak? Mau pulang?” kata Deno
cuek, santai tak tau kalau Fatimah ketakutan.
“Gak
pulang deh. Huhu, nggame yuk? Angry bird ya?” katanya semangat.
“Hah
lagi asyik main Drive nih! Sekali-kali main Under Ground, Most Wanted, atau NFS
Shift gitu dong, jangan Angry Bird terus kamu.” Saat itu Fatimah hanya diam.
Gadis
cantik, manis, dan imut, Fatimah, 6 tahun yang baru merasakan menduduki kursi
ruang kelas Sekolah Dasar Kanjeng 3 Kediri. Bukan bangunan yang megah dengan
tanah lapang bertaburan lampu kemerlip saat petang. Bukan seperti itu, bukan
juga bangunan yang hampir rubuh. SD Kanjeng 3 Kediri ini adalah SD biasa dengan
fasilitas standar namun kenyamanan belajar terjamin.
Dentang
jam bernyanyi terlihat jarum jam tepat membentuk sudut 90 derajat. Jarum
terpanjang menunjuk angka 12, jarum terpendek menunjuk angka 9. Detik jampun
berdetak, tik tok tik tok. Bagaikan suara penjual bakso dengan alunan yang
lebih merdu. Malam telah larut, mereka masih asyik bermain tanpa memikirkan
perut mereka yang kosong. Suara bel sempat berdering, tanda Mama-Papa Deno
telah pulang atau Emak-Bapak Fatimah yang menekannya untuk mencari anaknya yang
tak ada di kediaman mereka.
Namun
kalau Fatimah pulang malam, ayahnya yang selalu mengamuk, dan hanya ibunya yang
menolong. Biarpun begitu Emak-Bapaknya gak pernah mencarinya,
“Pak
anakmu nyandi yo? (pak anakmu kemana ya?)”
“Anakmu
barang, halah paling nok omahe Deno. Bocah kok betahe neng kerajaane uwong.
Ndang turu kono mak sliramu! (itu anakmu
juga, halah paling-paling di rumah Deno. Anak kok sukanya di rumah orang. Sudah
cepet tidur kamu mak!).”
Itu
lah kata-kata yang selalu dikatakan orangtua Fatimah jika ia tidak pulang,
namun jika ia menginjakkan kaki di rumah orangtuanya untuk pulang pasti di amuk
oleh bapaknya, kenapa keluar gak dicari pulang-pulang kok diamuk? Hmm
Satu
jam berlalu tiba-tiba Deno berkata,
“Fat
gak makan?”
“Hah.
Em (sambil gigit jari) yuk yuk aku lapar Den!” sangat polosnya ia berkata itu.
Semua
makan malamnya disiapkan pembantu Deno yang sudah habis jadwalnya. Memang rumah
itu sepi jam 8, karena pembantunya dan pengurus khusus Deno sudah pulang maka
dari itu ia selalu makan malam sendiri bahkan ia jarang makan malam, tapi kali
ini tidak, kan ada Fatimah.
“Ayo
Fat dinikmati, diambil semua juga boleh kok!” kata Deno sambil bercanda.
“Haha
huhu ayo kita makan bersama-sama!” dengan senang ia mengambil sendok nasi
sambil menuangkannya ke piring mendadak ia berhenti.
“Loh
kenapa bengong Fat. Ayo diambil terus makan bareng!”
“Emak
dan bapakku di rumah makan apa ya Den, aku jadi gak tega kalau makan tanpa
mereka.” Kata Fatimah sambil mengembalikaan sendok nasinya.
Serentak
Deno terbangun mengapa ia sempat gak kepikiran orangtuanya bukan karena
kesibukannya tapi mungkin karena Deno jengkel gak pernah di temeni makan malam.
Mendengar ucapan Fatimah ia merenung dan berkata dalam hati (enak kalau di
rumah Fatimah, ada orangtua, ada adik kakak laki-laki yang bisa diajak nggame
kalau selesai belajar).
“Aha..
gimana kalau makanannya kita bawa ke rumahmu dan kita makan bersama di sana?
Lagian aku juga sendiriran di rumah.” Kata Deno dengan ide gilanya tapi ia
tampak semangat.
“Iya
ide bagus itu emak dan bapakku kan sudah pulang, kakakku juga sudah pulang les,
jadi pasti rame di rumahku. Tapi bawa-bawa makanan nanti kita disangka maling
gimana Den? Lagian ini kan sudah malam.” Kata Fatimah
(srek
srek srek) suara langkah tak asing lagi di telinga Deno, langkah berat yang
biasa ia dengar saat larut malam ketika ia berbaring di tempat tidur
kesayangannya.
“Ups..
mereka datang! Mama-Papa ku datang, cepet-cepet aku harus tidur. Kamu gak
apa-apa kan tidur di sofa? Kalo belum tidur bakal kena semprot marah mereka
nih.”
“Assalamualaikum!” kata mama Deno dengan suara lembut.
“Selamat
malam Deno! Udah tidur nak?” kata papa Deno.
Mau
gak dijawab nanti dosa, kalau dijawab pasti ditanya kenapa belum tidur? Kalau
jawab nggame pasti dimarahi, kalo jawab belajar itu namanya bohong. Anak kecil
sudah mikir panjang seperti itu, memang hal yang tidak biasa. Tiba-tiba Fatimah
menjawab,
“Waalaikumsalam
ibuk, selamat malam bapak.” Kata Fatimah gemeteran, gugup, dan takut (dengan
panggilan ibuk dan bapak sama dengan tante dan om, ini bahasa yang biasa
digunakan di kampung Kanjeng).
Serentak
Deno kaget dan berkata dalam hati (aduh Fatimah gimana sih tu anak dibilangi
apa gak takut kena marah mamaku apa?)
“Fatimah,
kok di sini belum pulang, apa gak dicari emakmu nak?”
“Gak
ibuk, Fatimah mau tidur sini aja deh, gakpapa kan buk?”
“Gakpapa,
kamu tidur di kamar sebelah Deno aja ya? Tapi Deno kemana ya kok kamu gak
nggame atau main petak umpet di rumah seperti biasa? Di kamar atau sudah tidur
dia?”
“Huhu
buk aku bingung jawab yang mana, pokok Deno tadi lari ke atas sana aku juga gak
tau ibuk.”
Tiba-tiba
Deno nongol dengan raut muka ketakutan dan berpikir yang tidak-tidak, layaknya
kucing jatuh cinta datangnya emang tiba-tiba. Deno telah salah selama ini, dia
pikir ibunya akan marah jika ia tidak tidur ketika larut malam, ternyata ibu Deno
hanya bertanya padanya kenapa belum tidur dan apa saja yang dilakukan Deno
ketika ia bersama Fatimah.
....
Fajar
menampakkan sinarnya begitu cepat, alarm ayam telah berbunyi dengan kokokan
merdu nan alami. Sehabis subuh Fatimah perlahan
mencari angin dari jendela kamar yang sedang ia tempati, ia ingin pamit pulang
ternyataa di rumah hanya ada pembantu dan yang khusus merawat Deno, entah di
mana orangtuanya setelah bertanya-tanya ia menebak kaalau orangtuanya sudah
berangkat kerja. Perlahan pintu kamar terbuka, Deno datang,
“Kenapa,
mau pulang? Pasti gak boleh sama mama Eti yang ngrawat aku itu, pasti suruh
sarapan dulu, mandi, dll.”
“Aku
nanti dimarahi ibuku Den, gimana kalau menyelinap lewat jendela ini?”
“Ide
bagus Fat, tapi kita gak sekolah apa hari ini?”
“Berangkat
dari rumahku aja, bawa peralatan semua terus langsung kita cabut, c’mon!”
“Oke
oke, tapi kenapa kalau sama-sama menyelinap kayak maling, kemarin malem gak kemarin
aja pulangnya?”
“Ah
itu sendiri aku juga gak tau, kemarin gelap sekarang terang. Gitu aja deh
jawabnya, cepet!”
Begitu
dekat jarak rumah Deno dan Fatimah sedekat hubungan mereka sebagai sahabat yang
seakan menjadi saudara. Diketuknya pintu dengan perlahan waktu menunjukkan
pukul 05.00 tepat terlihat di dinding depan rumah.
“Emak....???”
“Emak....??!”
Dua
kali ia memanggil baru terdengar dari belakang, ternyyata sang emak masih
menyiapkan sarapan,
“Heh
bocah kemana aja? Kalau gini langsung ke belakang aja kenapa, kan emak biasanya
juga masak, cuci piring, udah repotlah, malah panggil-panggil. Ayo masuk!
(serentak kaget) heh kamu bawa anak orang juga?”
“Dia
cuma mau numpang mandi dan sarapan, berangkat sekolah bareng, nati sore pulang
sekolah dia pulang kok mak.”
“Iya
Deno?”
“Iya
tante, Deno nanti pulang sekolah mau kembali ke rumah.” Katanya sambil
gemeteran takut dimarahi.
“Oke
masuk! Nanti sehabis sekolah langsung pulang ke rumahmu sana ya? (sambil
menunjuk rumah Deno) Biar Fatimah yang
ngantar nanti, sekarang kamu mandi, soalnya di sini gantian.”
......
Bel
pulang sekolah berbunyi. Mama-Papa Deno melihat jam tangan mereka
masing-masing, seakan ingin cepat pulang karena ini hari ulang tahun Deno.
Detik berjalan, menitpun berdetak, dan jam tanganpun berdering menunjukkan
pukul 2 sore. Segera nyalakan Honda Jazz masing-masing. Mereka memasuki wilayah
kampung Kanjeng, terlihat mama dari arah selatan dan papa dari arah timur. Saat
menuju teras sudah disusul semua pembantunya, perawat khusus, dan supir. Mereka
bilang Deno tak di rumah. Betapa kagetnya
Mama-Papa Deno.
Bukan
jam yang bercerita, hanya menit yang berbicara dan mengantar mereka ke tempat
tinggal Fatimah, yang memang hanya berjarak 1 km dari rumah Deno. Tak disangka
dan tak diduga nyonya Belina memasuki kawasan yang penuh debu tapi tetap segar
dikelilingi tanaman indah nan membentang, beberapa hektar yang selalu digarap
para petani, serta tanaman-tanaman besar seperti lambang koperasi.
“Assalamualaikum”
kata pak supir sambil mengetuk pintu rumah Fatimah.
“Waalaikum
salam warohmatullahi wabarokatu. Ada yang bisa saya bantu?” kata ibu dari
Fatimah.
“Em
begini buk, maaf sebelumnya mengganggu ya? Saya orangtuanya Deno, apa Deno ada
disini?”
“Oh
silakan masuk nyonya, ada ada Deno ada di sini, di kamar bersama Fatimah, anak
saya.”
Perlahan tangannya
mendekat ke daun pintu kamar, dibukanya sedikit agar bisa mengintip. Deno memerankan
seorang ayah yang bernama Dewana, itu adalah papanya dan Fatimah memerankan ibu
yang bernama Belina, mereka merawat anak bersama yang bernama Deno, yang
sebenarnya anaknya hanya sebatas boneka tedi bear, tapi itu cukup mewakili.
Mereka hidup bahagia. Itu gambaran hati Deno selama ini.