lilaemaliza

Senin, 22 Agustus 2016

Cerpen Kehidupan. Cerpennya agak serius. Yuk yuk dibaca!!



Hipotesis Hidup dan Lambang Persembahan
Gedung-gedung menjerit karena telah tua, masih ada ribuan muda-mudi menginjaknya demi ilmu. Ruangan-ruangan berdebu tidak seperti baru dulu ketika dia dilahirkan dengan menggunting pita. Perempuan berambut keriting tampak memandang laptop, benda masa kini pegangan muda-mudi. Ditemani pensil yang menari-nari merangkai kata sebelum mengetik ke benda itu. Kepalanya terangkat, matanya terbuka lebar hingga ingin keluar. Dia melihat laki-laki itu, ya, benar, dia itu teman lamanya.
“Jarwo!” panggilnya.
“Howeh!” sahabatnya itu terkaget.
“Siti! Kamu kuliah di sini?” Siti mengangguk.
Dia memendam kata-kata yang seharusnya diucapkan dan dia hanya memandang Siti. Lalu, Jarwo mendekat, memeluk Siti, dan mengacak rambutnya.
“Aku tahu, tidak ada kata terlambat untuk belajar.”
“Tidak, tapi aku belajar saat semuanya terlambat.”
“Ah, tapi aku kagum denganmu, berani belajar saat temanmu sudah ada yang jadi jenderal,” sindirnya halus, sehalus paha personil girlband.
“Bukan, aku tidak berani belajar, tapi aku belajar berani menghadapi kegagalanku.”
Teman-temannya yang berkumpul dengan beberapa pasang mata menusuk pandangannya pada Siti dan Jarwo.
“Aku tahu, itu sulit, semoga kamu kuat belajar di sini.”
“Tidak, aku tidak kuat belajar di sini, apalagi melihatmu menapaki jalan lebih dekat menuju skripsi. Tidak, aku tidak kuat belajar, tapi aku belajar kuat.”
“Kamu lebih menginspirasiku lagi karena dari dulu kamulah inspirasiku.”
“Maksudmu? Jangan begitu. Ini bukan ulahku. Tuhanlah yang mendewasakanku dengan luar biasa.”
“Kamu ingin tahu?” Siti mengangguk dan Jarwo mengeluarkan buku berjudul Siti Merayap ke Langit.“
Mata Siti terbelalak, “novel ini karyamu? Isinya tentang aku? Kenapa?”
“Bagaimana tidak? Kamu yang selalu sibuk dengan memberi pelajaran pada anak SD, jadi guru les musik, jadi koreografer anak-anak SMP, dan yang paling aku impikan, kamu jadi akuntan.”
Mata Siti berkaca-kaca, “ini semua yang aku jalani tidak pernah aku duga.”
“Aku tak menduga kau mendahuluiku menjadi akuntan. Dan aku mendahuluimu menjadi penulis.”
“Entahlah!” Siti mengalirkan air matanya di atas tisu.
“Kamu tidak akan gagal kalau bukan karena bajingan itu.”
“Tidak, tidak. Aku tidak akan menyalahkan siapa pun,” Jarwo terdiam.
“Jarwo, kenapa Tuhan merahasiakan segala takdir kita, takdir yang seharusnya hanya untuk diri kita sendiri? Bahkan, aku tak dapat menduga yang terjadi padaku. Semua, hampir semua tak terduga.”
“Tuhan adil. Dia ingin kita belajar, belajar menduga misalnya. Entahlah menduga masa depan yang bagaimana aku tak tahu. Tuhan ingin kita membuat hipotesis hidup kita, tapi Tuhan berkehendak menentukannya. Dia Tahu yang terbaik,” Siti mengangguk keheranan, sahabat yang dulu menyebalkan, kini didewasakan Tuhan juga.
“Aku memutuskan membuat 1 hipotesis. Mengantar orang tuaku ke Mekkah dan aku berdoa di sini. Mekkah itu jauh, di bulan Dzulhijah tahun berapakah lembaran rupiah di kantongku mengantarkan mereka. Entahlah.”
“Aku tak dapat menduga. Hanya saja jangan berhenti membuat hipotesis hidup, Siti.”
Mereka berpisah dari kelas itu. Padahal, Jarwo masih ingin bertanya-tanya setelah 6 tahun tak bertemu.
Semua pasang mata telah beralih tak memandang mereka, semua pasang telinga tak ingin mendengar hal pribadi mereka, dan semua pasang kaki telah pergi meninggalkan mereka sendiri. Kaki Jarwo enggan pergi, dia masih duduk menyendiri. Siti meninggalkannya karena tak kuasa menahan bendungan air mata yang hendak jebol.
***
Sinar-sinar mulai redup menghapus garis cakrawala. Tiba-tiba angin berhembus meniup setiap bulir air mata Siti. Kemudian tangan-tangan lembut kawan-kawannya menahan amarah dalam dirinya. Adzan mulai menenangkannya bersama malam yang mendekap hangat. Mendekap seluruh kekelaman dalam dirinya. Hingga pesan dalam ponsel Siti mengetuk kepala yang penuh amarah dari hati. Pesan itu datang dari seseorang yang dia cintai. Namun, antara dia dan Siti hanya ada hubungan dalam payung kebahagiaan semu.
“Aku sibuk beb, nggak bisa jemput kamu,” pesan dari Riko pada Siti.
“Sibuk apa? Tadi padahal habis dari rumah Ryan bareng kawan-kawanmu kan?”
“Kalau iya kenapa? Emang di rumah kamu nggak ada orang?”
Siti tidak membalasnya. Dia rasa tidak perlu. Biarkan dia menganggap Sito apa, tapi dia masih memulai lagi.
“Gimana? Ada orang kan di rumah? Nggak usah cari perhatian minta dijemput deh,” membuatnya semakin geram.
“Eh aku tadi kan bilang, nggak ada motor di rumah. Tau sendiri kan aku berangkat naik angkot. Kalau nggak mau jemput yaudah.”
Dalam dinginnya malam, kawan-kawannya sesama anggota Diklat masih menunggu Siti dijemput. Mereka rumahnya dekat, tinggal jalan kaki, lalu sampai. Siti harus menempuh 20 menit untuk sampai rumah dari sekolah tercinta. Otaknya memutar seluruh daftar nama teman di ponsel yang bisa menjemput. “Oh ya, Jarwo.”
“Jarwo, kamu di mana? Aku di depan sekolah nih, selesai Diklat, nggak ada yang jemput. Orang tuaku lagi nggak ada motor. Tau sendiri kan angkot sudah nggak ada kalau habis magrib,” pesannya tak kunjung dibalas olehnya hingga satu persatu kawannya meninggalkannya.
“Siti, sorry baru beli pulsa. Howeh kebetulan aku di rumah dan nganggur. Tapi... nggak ada motor juga,” jawaban mengecewakan belum sempat aku balas. Kawannya mengajaknya menginap di rumah teman Siti.
“Siti, aku dapat pinjaman motor. Kamu di situ dulu ya,” Siti dan kawannya tersenyum melihat pesan dari Jarwo beberapa saat kemudian.
Jarum jam merambat menemani harapan dan mengundang sepi datang menghampiri Siti dan kawannya.
“Siti, sudahlah kita ke rumahku saja,” Dia tidak menjawab ajakan kawannya dan dia langsung menarik tangan Siti menyusuri jalanan di tengah keramaian motor berlalu lalang. Kaki kami masih menapaki jembatan beraspal lalu ada seseorang memainkan klakson di belakang,
“Siti... Siti...” wah ternyata Jarwo hafal dengannya.
“Jarwo?” mereka mengantar Saroh, kawan di samping Siti, sampai rumah.
Dia tak menyangka Jarwo mau menjemputnya. Siti ingat seseorang yang dia cintai tidak bisa seperti ini. Jalanan hitam kasar ditaburi lampu dan bintang-bintang menemani perjalanan mereka pulang. Di rumah, Siti hanya bisa merenung memikirkan Riko, laki-laki yang tidak bisa menjemputnya. Dia terlarut dalam prasangka buruk. Otaknya teracuni pertanyaan ke mana Riko, Riko ke mana lagi. Siti tidak sadar mengapa dia memikirkan Riko? Padahal, sudah jelas yang mengantar dia sampai bisa membuka pintu rumah itu Jarwo. Ke mana otaknya?
***
Pagi bersinar tanpa komando. Matahari telah mulai mencapai puncaknya. Waktu telah berputar-putar dengan hipotesis kehidupan. Rencana-rencana menunggu dilaksanakan. Siti terbelalak melihat hpnya ada pesan dari Riko, kekasih yang sering mengabaikannya.
“Hai beb, nanti malem jam 7 ketemu bisa kan? Aku tunggu di depan rumahmu.”
Siti membalasnya dengan senyum, “Oke beb siap.”
Persiapan telah dilakukan seperti akan perang. Padahal, yang dia bawa hanya dompet dan hp. Siti jalan-jalan bersama Riko hingga sampai di sebuah rumah kosong milik saudaranya. Perbincangan dimulai dari kedekatan Siti dan Jarwo yang membuat Riko panas.
“Kenapa dekat-dekat sama Jarwo kamu, beb? Nggak cukup denganku?”
“Kita teman beb, lagian dia baik. Dan aku nggak pernah marah kamu sama cewek-cewek genitmu itu. Terus apa masalahnya?”
“Oh bisa cemburu juga kamu ya? Kirain udah nggak peduli semua ini?”
“Apa nggak salah? Kamu yang nggak peduli, beb!”
“Oh jadi kamu nggak ngrasa nyakitin aku?”
Pertengkaran berlanjut dengan hantaman tangan Riko di pipi Siti. Siti tanpa daya, tapi dia mencoba melawan, menahan, membentengi diri. Semua sia-sia Siti diikat tangan dan kakinya, dijambak rambutnya, diguyur seluruh tubuhnya. Dia menderita, mulutnya dilakban, tapi dia masih menyayangi Riko. Apa yang ada di otaknya? Cairan apa yang memenuhinya? Riko kembali membawa pisau dan menyayat kulit putih mulus sang kekasih. Darah yang mengalir dia anggap lambang cinta.
“Beb, sekarang Jarwomu mana? Nggak bisa nolong kan? Tinggalin dia!”
Siti tidak bisa menjawab, hanya meronta. Rontaan dan berisiknya diterjemahkan menjadi sayatan pisau di pipinya. Tipis bibirnya tak luput dari ciuman pisau tipis, tajam milik Riko. Api cemburu telah membakar hatinya, cintanya, semuanya.
“Berjanjilah jangan sampai bertemu Jarwo lagi! Kau milikku!”
Langsung dia tancapkan pisau itu ke paha Siti. Miris, getir darah mengalir membasahi cinta mereka. Dia membiarkan hujan keringat di tubuh Siti, dia hanya perlu sakit hatinya dirasakan Siti. Namun, cuilan rasa dalam hatinya masih belum terbakar, dia mencari kain untuk menutup luka di paha Siti. Dia meninggalkan Siti di rumah itu sendirian, dia pulang tanpa dosa. Siti menangis, meronta, putus asa. Siti ingat ayah ibunya, apa yang akan mereka pikirkan. Siti ingat satu hal penting lagi, dia besok ada acara ujian masuk universitas.
Namun, di luar sana Riko tampak biasa. Orang-orang tertangkap bola matanya, ada yang sedang jualan ayam panggang, ada pegawai-pegawai pulang kerja, ada muda-mudi berkeliaran. Warna-warni dunia sejauh pandangannya saat perjalanan pulang mengingatkannya pada Siti, sedang sakitkah dia?, tapi dia tidak peduli. Siti sedang meratapi keadaannya. Siti berteriak-teriak, tapi hanya dia yang mendengar. Siti menggoyang-goyangkan kursinya, tapi tidak bisa melepas ikatannya. Dia pasrah, menangis, menguras air mata. Sama dengan orang tuanya, air mata mereka mengalir deras menuju hati.
Hari berikutnya Riko datang menghampiri penyiksaan yang telah dia rahasiakan. Pembantaian dia mulai, garpu di kedua tangannya menggores lengan dan betis Siti.
“Aku kasih tau kamu cara mati terbaik sayang, daripada aku lihat kamu sama Jarwo.”
Siti meronta ingin menjelaskan yang terjadi, tapi tanpa daya dia sudah pasrah dan keadaannya pun tidak seceria dulu, matanya mulai lembam karena tidak makan juga minum.
“Diam! Berisik aja kamu! Mau ngomong apa? Nggak usah!”
Detak detik terus berbunyi, menit pun mengejar alunannya, jam bergeser angka demi angka. Orang tua Siti telah berusaha selalu berdoa, teman-teman juga merindukannya, walau hanya merindukan tertawanya. Kalender juga sudah berpetak-petak berganti angka. Riko merasa seakan hanya satu jam menyiksa Siti. Dia mulai memberinya makan, sisa-sisa, busuk, dan entahlah apalagi. Nyawanya seakan ingin pergi, tapi tidak bisa. Badannya ringkih, sungguh limpahan keajaiban nafasnya masih mengalir di antara pori-pori nadinya.
Rumus-rumus tidak dapat menemukannya, kini hanya doa dan persembahan jiwa raganya untuk DIA yang memberi keajaiban. Siti tidak pernah lagi berontak, dia diam. Akhirnya Riko yang semakin kesal.
“Ingin kamu pulang? Semua orang mencarimu! Mereka bodoh tak bisa nemuin kamu.”
“Jawab! Ingin pulang kamu?!” dia menjambak Siti agar bisa mengangguk.
Kesunyian malam yang sangat tajam tepat pukul 2 dini hari, Riko mengantarnya pulang lewat kebun-kebun gelap hingga sampai di rumah Siti. Riko meninggalkannya, Siti merangkak ke depan pintu. Dia mengetuk keras dan membangunkan ketenteraman mimpi orang tuanya. Dalam tangis atas nama kaget, ibunya pingsan melihat Siti kurus hampir seperti tulang. Ayahnya berlari membopong Siti kemudian ibu.
“Nak, kamu ke mana aja? Siapa yang lakukan ini? Nak jawab ayah!” Siti tidak mampu lagi, dia letih. Ayah membiarkan Siti menemani tidur ibu yang masih pingsan. Namun, ibu terbangun kemudian berteriak, bermandikan air mata, dia tidak tahu lagi harus bagaimana.
Kasus ini dipersembahkan untuk pihak berwajib. Mereka yang urus siapa penyiksa Siti. Namun, hal itu tidaklah mudah bila Siti tidak mampu berucap, dia trauma, takut. Hal itu sampai di telinga Jarwo. Dia paham bahasa tubuh Siti, raut mukanya, cara dia takut. Jarwo langsung menuduh Riko, mendatanginya, menghajarnya, dan menyerahkannya ke pihak berwajib. Itu juga butuh proses, ternyata Jarwo tidak punya bukti, tapi dia yakin. Semua itu tidak dilanjutkan, tidak ditemukan. Orang tuanya hanya bisa mengutuk penyiksa itu.
Hidup bergulir bagai bola. Bumi ini menari berputar seperti balerina. Dua tahun berlalu, Siti lahir kembali dengan paras cantiknya. Dia mulai menyerahkan seluruhnya pada Tuhan, apapun yang terjadi. Angin bersama waktu menerbangkannya ke pendidikan lebih atas. Hari-harinya luar biasa walau masih ada sepercik trauma di dinding hatinya.

Baca juga nih cerpen lama yang masih belajar: Cerpen Gubuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar