Hipotesis Hidup dan Lambang
Persembahan
Gedung-gedung
menjerit karena telah tua, masih ada ribuan muda-mudi menginjaknya demi ilmu.
Ruangan-ruangan berdebu tidak seperti baru dulu ketika dia dilahirkan dengan
menggunting pita. Perempuan berambut keriting tampak memandang laptop, benda
masa kini pegangan muda-mudi. Ditemani pensil yang menari-nari merangkai kata
sebelum mengetik ke benda itu. Kepalanya terangkat, matanya terbuka lebar
hingga ingin keluar. Dia melihat laki-laki itu, ya, benar, dia itu teman lamanya.
“Jarwo!”
panggilnya.
“Howeh!”
sahabatnya itu terkaget.
“Siti!
Kamu kuliah di sini?” Siti mengangguk.
Dia
memendam kata-kata yang seharusnya diucapkan dan dia hanya memandang Siti.
Lalu, Jarwo mendekat, memeluk Siti, dan mengacak rambutnya.
“Aku
tahu, tidak ada kata terlambat untuk belajar.”
“Tidak,
tapi aku belajar saat semuanya terlambat.”
“Ah,
tapi aku kagum denganmu, berani belajar saat temanmu sudah ada yang jadi
jenderal,” sindirnya halus, sehalus paha personil girlband.
“Bukan,
aku tidak berani belajar, tapi aku belajar berani menghadapi kegagalanku.”
Teman-temannya
yang berkumpul dengan beberapa pasang mata menusuk pandangannya pada Siti dan
Jarwo.
“Aku
tahu, itu sulit, semoga kamu kuat belajar di sini.”
“Tidak,
aku tidak kuat belajar di sini, apalagi melihatmu menapaki jalan lebih dekat
menuju skripsi. Tidak, aku tidak kuat belajar, tapi aku belajar kuat.”
“Kamu
lebih menginspirasiku lagi karena dari dulu kamulah inspirasiku.”
“Maksudmu?
Jangan begitu. Ini bukan ulahku. Tuhanlah yang mendewasakanku dengan luar
biasa.”
“Kamu
ingin tahu?” Siti mengangguk dan Jarwo mengeluarkan buku berjudul Siti Merayap
ke Langit.“
Mata
Siti terbelalak, “novel ini karyamu? Isinya tentang aku? Kenapa?”
“Bagaimana
tidak? Kamu yang selalu sibuk dengan memberi pelajaran pada anak SD, jadi guru
les musik, jadi koreografer anak-anak SMP, dan yang paling aku impikan, kamu
jadi akuntan.”
Mata
Siti berkaca-kaca, “ini semua yang aku jalani tidak pernah aku duga.”
“Aku
tak menduga kau mendahuluiku menjadi akuntan. Dan aku mendahuluimu menjadi
penulis.”
“Entahlah!”
Siti mengalirkan air matanya di atas tisu.
“Kamu
tidak akan gagal kalau bukan karena bajingan itu.”
“Tidak,
tidak. Aku tidak akan menyalahkan siapa pun,” Jarwo terdiam.
“Jarwo,
kenapa Tuhan merahasiakan segala takdir kita, takdir yang seharusnya hanya
untuk diri kita sendiri? Bahkan, aku tak dapat menduga yang terjadi padaku.
Semua, hampir semua tak terduga.”
“Tuhan
adil. Dia ingin kita belajar, belajar menduga misalnya. Entahlah menduga masa
depan yang bagaimana aku tak tahu. Tuhan ingin kita membuat hipotesis hidup
kita, tapi Tuhan berkehendak menentukannya. Dia Tahu yang terbaik,” Siti
mengangguk keheranan, sahabat yang dulu menyebalkan, kini didewasakan Tuhan
juga.
“Aku
memutuskan membuat 1 hipotesis. Mengantar orang tuaku ke Mekkah dan aku berdoa
di sini. Mekkah itu jauh, di bulan Dzulhijah tahun berapakah lembaran rupiah di
kantongku mengantarkan mereka. Entahlah.”
“Aku
tak dapat menduga. Hanya saja jangan berhenti membuat hipotesis hidup, Siti.”
Mereka
berpisah dari kelas itu. Padahal, Jarwo masih ingin bertanya-tanya setelah 6
tahun tak bertemu.
Semua
pasang mata telah beralih tak memandang mereka, semua pasang telinga tak ingin
mendengar hal pribadi mereka, dan semua pasang kaki telah pergi meninggalkan
mereka sendiri. Kaki Jarwo enggan pergi, dia masih duduk menyendiri. Siti
meninggalkannya karena tak kuasa menahan bendungan air mata yang hendak jebol.
***
Sinar-sinar
mulai redup menghapus garis cakrawala. Tiba-tiba angin berhembus meniup setiap
bulir air mata Siti. Kemudian tangan-tangan lembut kawan-kawannya menahan
amarah dalam dirinya. Adzan mulai menenangkannya bersama malam yang mendekap
hangat. Mendekap seluruh kekelaman dalam dirinya. Hingga pesan dalam ponsel
Siti mengetuk kepala yang penuh amarah dari hati. Pesan itu datang dari
seseorang yang dia cintai. Namun, antara dia dan Siti hanya ada hubungan dalam
payung kebahagiaan semu.
“Aku
sibuk beb, nggak bisa jemput kamu,” pesan dari Riko pada Siti.
“Sibuk
apa? Tadi padahal habis dari rumah Ryan bareng kawan-kawanmu kan?”
“Kalau
iya kenapa? Emang di rumah kamu nggak ada orang?”
Siti
tidak membalasnya. Dia rasa tidak perlu. Biarkan dia menganggap Sito apa, tapi
dia masih memulai lagi.
“Gimana?
Ada orang kan di rumah? Nggak usah cari perhatian minta dijemput deh,”
membuatnya semakin geram.
“Eh
aku tadi kan bilang, nggak ada motor di rumah. Tau sendiri kan aku berangkat
naik angkot. Kalau nggak mau jemput yaudah.”
Dalam
dinginnya malam, kawan-kawannya sesama anggota Diklat masih menunggu Siti
dijemput. Mereka rumahnya dekat, tinggal jalan kaki, lalu sampai. Siti harus
menempuh 20 menit untuk sampai rumah dari sekolah tercinta. Otaknya memutar
seluruh daftar nama teman di ponsel yang bisa menjemput. “Oh ya, Jarwo.”
“Jarwo,
kamu di mana? Aku di depan sekolah nih, selesai Diklat, nggak ada yang jemput.
Orang tuaku lagi nggak ada motor. Tau sendiri kan angkot sudah nggak ada kalau
habis magrib,” pesannya tak kunjung dibalas olehnya hingga satu persatu
kawannya meninggalkannya.
“Siti,
sorry baru beli pulsa. Howeh kebetulan aku di rumah dan nganggur. Tapi... nggak
ada motor juga,” jawaban mengecewakan belum sempat aku balas. Kawannya mengajaknya
menginap di rumah teman Siti.
“Siti,
aku dapat pinjaman motor. Kamu di situ dulu ya,” Siti dan kawannya tersenyum
melihat pesan dari Jarwo beberapa saat kemudian.
Jarum
jam merambat menemani harapan dan mengundang sepi datang menghampiri Siti dan
kawannya.
“Siti,
sudahlah kita ke rumahku saja,” Dia tidak menjawab ajakan kawannya dan dia
langsung menarik tangan Siti menyusuri jalanan di tengah keramaian motor
berlalu lalang. Kaki kami masih menapaki jembatan beraspal lalu ada seseorang
memainkan klakson di belakang,
“Siti...
Siti...” wah ternyata Jarwo hafal dengannya.
“Jarwo?”
mereka mengantar Saroh, kawan di samping Siti, sampai rumah.
Dia
tak menyangka Jarwo mau menjemputnya. Siti ingat seseorang yang dia cintai
tidak bisa seperti ini. Jalanan hitam kasar ditaburi lampu dan bintang-bintang
menemani perjalanan mereka pulang. Di rumah, Siti hanya bisa merenung
memikirkan Riko, laki-laki yang tidak bisa menjemputnya. Dia terlarut dalam
prasangka buruk. Otaknya teracuni pertanyaan ke mana Riko, Riko ke mana lagi.
Siti tidak sadar mengapa dia memikirkan Riko? Padahal, sudah jelas yang
mengantar dia sampai bisa membuka pintu rumah itu Jarwo. Ke mana otaknya?
***
Pagi
bersinar tanpa komando. Matahari telah mulai mencapai puncaknya. Waktu telah
berputar-putar dengan hipotesis kehidupan. Rencana-rencana menunggu
dilaksanakan. Siti terbelalak melihat hpnya ada pesan dari Riko, kekasih yang
sering mengabaikannya.
“Hai
beb, nanti malem jam 7 ketemu bisa kan? Aku tunggu di depan rumahmu.”
Siti
membalasnya dengan senyum, “Oke beb siap.”
Persiapan
telah dilakukan seperti akan perang. Padahal, yang dia bawa hanya dompet dan
hp. Siti jalan-jalan bersama Riko hingga sampai di sebuah rumah kosong milik
saudaranya. Perbincangan dimulai dari kedekatan Siti dan Jarwo yang membuat Riko
panas.
“Kenapa
dekat-dekat sama Jarwo kamu, beb? Nggak cukup denganku?”
“Kita
teman beb, lagian dia baik. Dan aku nggak pernah marah kamu sama cewek-cewek
genitmu itu. Terus apa masalahnya?”
“Oh
bisa cemburu juga kamu ya? Kirain udah nggak peduli semua ini?”
“Apa
nggak salah? Kamu yang nggak peduli, beb!”
“Oh
jadi kamu nggak ngrasa nyakitin aku?”
Pertengkaran
berlanjut dengan hantaman tangan Riko di pipi Siti. Siti tanpa daya, tapi dia
mencoba melawan, menahan, membentengi diri. Semua sia-sia Siti diikat tangan
dan kakinya, dijambak rambutnya, diguyur seluruh tubuhnya. Dia menderita,
mulutnya dilakban, tapi dia masih menyayangi Riko. Apa yang ada di otaknya?
Cairan apa yang memenuhinya? Riko kembali membawa pisau dan menyayat kulit
putih mulus sang kekasih. Darah yang mengalir dia anggap lambang cinta.
“Beb,
sekarang Jarwomu mana? Nggak bisa nolong kan? Tinggalin dia!”
Siti
tidak bisa menjawab, hanya meronta. Rontaan dan berisiknya diterjemahkan
menjadi sayatan pisau di pipinya. Tipis bibirnya tak luput dari ciuman pisau
tipis, tajam milik Riko. Api cemburu telah membakar hatinya, cintanya,
semuanya.
“Berjanjilah
jangan sampai bertemu Jarwo lagi! Kau milikku!”
Langsung
dia tancapkan pisau itu ke paha Siti. Miris, getir darah mengalir membasahi
cinta mereka. Dia membiarkan hujan keringat di tubuh Siti, dia hanya perlu
sakit hatinya dirasakan Siti. Namun, cuilan rasa dalam hatinya masih belum
terbakar, dia mencari kain untuk menutup luka di paha Siti. Dia meninggalkan
Siti di rumah itu sendirian, dia pulang tanpa dosa. Siti menangis, meronta,
putus asa. Siti ingat ayah ibunya, apa yang akan mereka pikirkan. Siti ingat
satu hal penting lagi, dia besok ada acara ujian masuk universitas.
Namun,
di luar sana Riko tampak biasa. Orang-orang tertangkap bola matanya, ada yang
sedang jualan ayam panggang, ada pegawai-pegawai pulang kerja, ada muda-mudi
berkeliaran. Warna-warni dunia sejauh pandangannya saat perjalanan pulang
mengingatkannya pada Siti, sedang sakitkah dia?, tapi dia tidak peduli. Siti
sedang meratapi keadaannya. Siti berteriak-teriak, tapi hanya dia yang
mendengar. Siti menggoyang-goyangkan kursinya, tapi tidak bisa melepas
ikatannya. Dia pasrah, menangis, menguras air mata. Sama dengan orang tuanya,
air mata mereka mengalir deras menuju hati.
Hari
berikutnya Riko datang menghampiri penyiksaan yang telah dia rahasiakan.
Pembantaian dia mulai, garpu di kedua tangannya menggores lengan dan betis
Siti.
“Aku
kasih tau kamu cara mati terbaik sayang, daripada aku lihat kamu sama Jarwo.”
Siti
meronta ingin menjelaskan yang terjadi, tapi tanpa daya dia sudah pasrah dan
keadaannya pun tidak seceria dulu, matanya mulai lembam karena tidak makan juga
minum.
“Diam!
Berisik aja kamu! Mau ngomong apa? Nggak usah!”
Detak
detik terus berbunyi, menit pun mengejar alunannya, jam bergeser angka demi
angka. Orang tua Siti telah berusaha selalu berdoa, teman-teman juga
merindukannya, walau hanya merindukan tertawanya. Kalender juga sudah
berpetak-petak berganti angka. Riko merasa seakan hanya satu jam menyiksa Siti.
Dia mulai memberinya makan, sisa-sisa, busuk, dan entahlah apalagi. Nyawanya
seakan ingin pergi, tapi tidak bisa. Badannya ringkih, sungguh limpahan
keajaiban nafasnya masih mengalir di antara pori-pori nadinya.
Rumus-rumus
tidak dapat menemukannya, kini hanya doa dan persembahan jiwa raganya untuk DIA
yang memberi keajaiban. Siti tidak pernah lagi berontak, dia diam. Akhirnya
Riko yang semakin kesal.
“Ingin
kamu pulang? Semua orang mencarimu! Mereka bodoh tak bisa nemuin kamu.”
“Jawab!
Ingin pulang kamu?!” dia menjambak Siti agar bisa mengangguk.
Kesunyian
malam yang sangat tajam tepat pukul 2 dini hari, Riko mengantarnya pulang lewat
kebun-kebun gelap hingga sampai di rumah Siti. Riko meninggalkannya, Siti
merangkak ke depan pintu. Dia mengetuk keras dan membangunkan ketenteraman
mimpi orang tuanya. Dalam tangis atas nama kaget, ibunya pingsan melihat Siti
kurus hampir seperti tulang. Ayahnya berlari membopong Siti kemudian ibu.
“Nak,
kamu ke mana aja? Siapa yang lakukan ini? Nak jawab ayah!” Siti tidak mampu lagi,
dia letih. Ayah membiarkan Siti menemani tidur ibu yang masih pingsan. Namun,
ibu terbangun kemudian berteriak, bermandikan air mata, dia tidak tahu lagi
harus bagaimana.
Kasus
ini dipersembahkan untuk pihak berwajib. Mereka yang urus siapa penyiksa Siti.
Namun, hal itu tidaklah mudah bila Siti tidak mampu berucap, dia trauma, takut.
Hal itu sampai di telinga Jarwo. Dia paham bahasa tubuh Siti, raut mukanya,
cara dia takut. Jarwo langsung menuduh Riko, mendatanginya, menghajarnya, dan
menyerahkannya ke pihak berwajib. Itu juga butuh proses, ternyata Jarwo tidak
punya bukti, tapi dia yakin. Semua itu tidak dilanjutkan, tidak ditemukan.
Orang tuanya hanya bisa mengutuk penyiksa itu.
Hidup
bergulir bagai bola. Bumi ini menari berputar seperti balerina. Dua tahun
berlalu, Siti lahir kembali dengan paras cantiknya. Dia mulai menyerahkan
seluruhnya pada Tuhan, apapun yang terjadi. Angin bersama waktu menerbangkannya
ke pendidikan lebih atas. Hari-harinya luar biasa walau masih ada sepercik
trauma di dinding hatinya.
Baca juga nih cerpen lama yang masih belajar: Cerpen Gubuk