lilaemaliza

Sabtu, 04 Februari 2017

Dua Helm Pencopot Kaki



Pagi masih bersembunyi di balik fajar. Aku bersiap menyusul pagi agar kami tidak terlambat di agenda yang sudah tersedia di kehidupan ini. Pagi ini aku dan kawan-kawanku ada program analisis sosial. Sebenarnya perut ini tidak mau diajak karena pasti, yakin, pasti kelaparan. Aku merayunya, dia tetap tidak mau. Masak iya aku melakukan analisis sosial, tapi perutku kutinggal di rumah? Mana mungkin, jelas tidak mungkin sekali. Temanku, Ratna, dia mencoba merayu perutku juga. Eh ada apakah perut kok dirayu-rayu? Sudahlah. Pukul 09.00 tepat kami siap ke lokasi yang belum kami tahu. Bayangkan kalian hidup di zaman Diponegoro, diberi perintah mencari tempat bernama Kampung Celaket, tapi di sekitar kalian adalah hutan-hutan! Bagaimana kalian bisa sampai dalam waktu setengah jam tanpa gadget pula? Yah apalagi aku dan temanku tidak punya ilmu sakti yang bisa menghilang. Namun, aku bersyukur sekali di dunia ini sudah ada GPS yang bisa menunjukkan arah, kecuali arah menuju dunia barzah.
“Klara! Woi! Ayo berangkat! Aku punya sepeda motor. Coba kamu bawa. Bisa nggak?” senior merusak lamunanku. Senior menawarkan aku sepeda motor, bersyukur lagi.
Tunggu, tapi sumpah aku seumur-umur belum pernah aku ditanya bisa bawa sepeda motor atau tidak. Bagaimana caranya? Apa ditaruh tas belanja emak-emak ke pasar? Atau dibawa pakai tangan saja.
“Aku nggak bisa bawa, tapi bisa naiknya,” senior mengira aku meledeknya.
“Woi sama saja dong naik doang, tapi nggak bisa jalan.”
“Eh maksud aku, naik terus jalan. Kalau bawa gimana juga, nggak bisa jalan dong?”
Semua memandangku. Mereka menggeleng-gelengkan kepala, bukan dzikir untuk mengagungkan keesaan Allah malah menertawakan kepolosanku. Padahal aku tidak pernah merasa polos. Hanya saja saat ini aku merasa sedang berbincang sesama makhluk bodoh. Mengapa? Karena antara naik dan bawa saja dipermasalahkan.
Perjalanan siap aku taklukan. Jalanan kota Malang yang panas bercampur debu siap aku lumpuhkan. Semoga aku bisa mengendarai motor ini, karena terakhir kali aku mengendarai motor milik temanku, lampu depan tidak berwujud alias telah menabrak sesuatu yang sangat keras, mobil. Ya, aku menabrakkannya dengan tidak sengaja.
“Oh ya, Klara mana helm kamu? Mau ada apa-apa kamu? Atau mau ditilang kamu? Kalau gitu jangan pakai motorku!” astaga senior ini sangat bawel sekali.
“Ah bawel amat kak. Sabar kali kak, aku ambil dah kalau harus pakai helm.”
“Klara? Eh Klara? Aku sekalian pinjam helm kamu dong! Kamu mau ambil kan sekarang? Aku nggak punya nih,” kata temanku yang paling imut.
“Ya sekarang dong aku ambilnya, masak besok mana boleh sama kak bawel?”
Dia tidak menjawab hanya meringis, tapi tidak mengurangi kadar manis dan imut dalam dirinya. Menurut teman laki-laki, suaranya saja sudah menggoda. Kalau pun kereta api cepat berangkat harus tepat waktu kemudian mendengar dia bicara memohon pinjam seperti itu, tampaknya dia rela mundur lagi ke stasiun. Septi namanya, temanku yang membuat laki-laki tergoda, tapi namanya sering menemui protes. Namanya Septi, tapi lahirnya bulan Februari. Menurutku wajar-wajar saja ya karena siapa tahu nama lengkap dia Septi Febriana.
“Iya deh iya aku ambilkan helmku, tunggu ya!” kataku sangat jutek.
Aku balapan dengan kilat demi mengambil helm. Namun, dia kalah karena jelas saja hari sedang tidak mendung. Jadi dia masih bersembunyi di balik awan. Helm baru saja aku ambil dalam waktu 10 menit tepat. Sekarang siap tempur menaklukkan hari. Namun, matahari sudah menyiapkan mayones, saos sambal, dan selada. Dia ingin membakarku dulu bersama teman-temanku. Tampaknya matahari tidak punya pisau atau garpu. Bagaimana dia punya? Dia itu jelas, tidak punya tangan. Jadi bagaimana pegang pisau dan garpu?
Akhirnya kami dibakar dan siap disantap panas, sangat panas, topi yang kupakai belum cukup menangkal panasnya. Namun, dingin kesejukan menerpaku saat kulihat manusia ganteng di seberang sana.
“Subhanallah. Setengah malaikat dari langit,” rasa kagumku tidak bisa ditahan.
“Klara! Woi! Klara! (suara klakson sahut menyahut seperti dimainkan),” mendadak semua mengklakson aku. Lamunanku pergi dibawa angin. Aku tidak bisa mengejar. Astaga ternyata aku mengambi arah yang berlawanan dengan teman-temanku.
“Tunggu! Tunggu! Tunggu! Kalian ini gimana, temannya nyasar malah ditinggal.”
“Eh tukang ngelamun. Kamu dipanggil nggak denger. Telingamu mana? Kesumpel?”
Aku hanya diam karena merasa bingung ingin menjawab apa. Teman-temanku kemudian melengos, mengisyaratkan bahwa mereka berkata terserah. Kapung Celaket, ya, kami sudah sampai. kampung ini ada di daerah Klojen, Malang. Dia masih menjadi tetangganya Lowokwaru. Kami menyusuri tempat-tempat yang diperintahkan oleh senior, yaitu tempat yang katanya menjadi induk budaya.
Senior hanya menunjukkan tempat saja. Kami bersama-sama melakukan analisis sosial terutama mengapa daerah ini menjadi induk budaya. Tugas meluncur, pengamatan demi pengamatan terus kami lakukan. Wawancara demi wawancara juga sudah terlaksana untuk meunjang informasi awal. Namun, cara itu membuatku merasa terlalu membuang waktu dan tenaga. Akhirnya aku mengusulkan untuk membagi kelompok kecil saja.
“Mana bisa jadi kelompok kecil? Kita kan satu kesatuan?” kata temanku, Rani.
“Aku hanya ikut saja keputusan kalian,” temanku yang laki-laki sepakat.
“Yasudah kalau gitu kita pecah jadi tiga, kan tadi infonya ada tiga,” kata Septi.
“Nggak bisa! Ayo kita lanjutkan saja pengamatan kita. Tadi kan sudah dapat info tentang alasan kampung ini dinamai dengan Celaket,” Rani mulai cerewet.
“Hei Ran, waktu kita hanya sampai pukul 1 siang. Sekarang sudah setengah 11 baru dapat satu info. Gimana nanti kalau nggak dapat info?”
“Ayo teman-teman kita lanjut saja. Jangan sampai pecah. Nanti saja kita pikir tentang info, google masih belum pensiun kok,” dia tidak mendengarkanku.
Aku mulai pasang wajah biasa dan sok tidak peduli dengan tugas-tugas ini. Aku merasa percuma saja nanti pada akhirnya bukan pengalaman di lapangan, tapi pengalaman di dunia google. Aku tidak ikut bertanya, semua berpusat pada Rani. Aku memutuskan untuk diam dan terus bermain ponsel pintar. Aku tidak peduli hingga membuat dia terusik.
“Klara! Kalau kamu tidak niat, pergi saja! Pulang saja! Oh ya, kalau kamu mau cari info di tempat lain silakan saja! Aku nggak keberatan. Terserah!” dia bernada marah.
“Hmm. Keberatan? Mau ditaruh sepeda motor barangnya biar nggak berat? Oh oke aku cari info ya? Jadi kita masih dapat info nama Kampung Celaket kan? Wawancara tadi apa? Belum dapat? Oh oke deh. Siap!” aku tahu dia gengsi ingin memecah.
“Aku ikut, aku ikut kamu Klar,” dua orang ingin ikut dan yang lain ke tempat lain. Di perjalanan temanku terus bergumam bahwa Rani bukan siapa-siapa mengapa dia sok menjadi ketua. Aku hanya menjawab, mungkin dia ingin diperhatikan.
Kami mulai wawancara. Satu teman laki-laki ikut di kelompokku, namanya Rajo. Namanya sudah dapat ditebak dia berasal dari mana. Ya, Sumatra, pulaunya malin kundang atau sepertinya dia cucunya malin kundang. Eh apa malin kundang mempunyai cucu? Sepertinya tidak. Ahsudahlah, tidak perlu dipikirkan. Dia mengawali wawancara kami, tapi dirasa pertanyaan yang dia ajukan sangat menyimpang hingga membuat kami tertawa.
“Bu, kami dapat tugas dan sebenarnya juga tertarik dengan kampung ini. Boleh saya bertanya, ibu ini anaknya berapa bu?” ibu itu tampak bingung. Dia lucu, bukan lucu manis atau itu. Dia lucu bodoh. Kalaupun ada peristiwa LPG meledak mung,in LPGnya tertawa dahulu mendengar temanku ini. Bodoh, dia mulai bodoh, kocak, ya kocak juga. Kami kaget apa-apaan Rajo menanyakan hal ini. Entahlah hanya dia yang tahu maksudnya.
“Bu kalau anaknya dua terus jualan di sini rame itu pas kapan?” lagi-lagi kami menertawakannya. Ada hubungan apa jumlah anak, jualan, dan tugas kami.
“Rajo, eh Rajo. Apa-apaan sih kamu? (dia memberi isyarat untuk tunggu dan tenang dulu). Sudahlah Rajo gantian kami yang tanya,” bisikku padanya.
Semua pertanyaan selesai dan semua tidak ada artinya menurutku. Narasumber yang kami tanyai sudah tidak ingin diganggu karena banyak pembeli. Rajo menyebalkan.
“Rajo, gimana hasil wawancara kamu? Dapat info apa?” dia berpikir.
“Nggak ada deh kayaknya. Ibu itu tadi anaknya dua terus tukang yang tadi aku temui pas parkir motor ternyata bukan asli orang sini,” wajah polosnya lucu. Mukanya kalau digambarkan dengan barang itu seperti keset (alat membersihkan kaki yang biasa ada di tengah pintu). Kepolosannya layak diinjak-injak karena menyebalkan.
“Woi, kita analisis sosial bukan sensus penduduk. Haduh dasar Rajo.”
“Loh iya kah? Soalnya aku nggak tahu apa itu analisis sosial. Emangnya artinya apa Klara?” aku yang dari tadi geram ternyata tidak mengerti juga apa artinya.
Aku segera memutar otakku yang seperti tertutup jaring laba-laba. Bahkan gir pemutar otakku sedikit berkarat. Tukang bersih-bersih di otakku sudah pensiun. Bagaikan jomblo, tidak bisa membersihkan otakknya sendiri. bayangkan betapa jomblo membersihkan kenangan bersama mantan saja susah apalagi otak berjaring dan berkarat. Pasangan itu pelengkap. Bagai sayur tanpa lauk, seperti itulah jomblo. Seperti WC tanpa kotoran. Eh.
“Ah aku susah menjelaskan analisis sosial apa. Sekarang kita susun aja pertanyaan.”
Akhirnya kami sampai. kami menemukan jodoh, eh, maksudnya menemukan pemilik pembuatan batik. Wawancara memang lancar. Foto-foto juga diperbolehkan. Padahal kami tidak tahu apa yang kami lakukan itu salah atau benar. Informasi hanya dari wawancara pembatik dan pemilik. Entah benar entah salah, kami hanya belajar.
Waktu selesai aku dan temanku kembali ke depan toko, tempat motor kami diparkir. Rajo pulang lebih dulu karena takut terlambat. Di depan toko kami sungguh kaget. Oh tidak, di mana kunci motor? Aku berpikir kalau kunci itu tertinggal di Batik Celaket. Temanku berpikir kuncinya ada di tas. Namun, semua nihil tasnya tidak ada kunci. Dia mengajakku kembali berjalan kaki. What? Tidak mau, kataku, karena terlalu jauh menurutku.
Kami hanya menunggu, siapa tahu ada yang datang dan mencari kami. Ah mana mungkin teman-temanku tidak mencari sampai magrib. Namun, setengah jam berlalu ridak ada yang datang. Aku berencana mengaca di spion motor. Alhasil betapa seperti orang bodoh diriku ini. Kunci motor seniorku ada di kantong motor (biasa ada di motor matic). Aku langsung menertawai temanku, dasar pelupa! Dia juga menertawakan diri sendiri. Kami pergi dengan motor milik senior itu kemudian sampailah bersama teman-teman.
“Bagaimana? Kelompok kita kumpul paling akhir loh. Ayo mana info kalian? Nanti dipresentasikan,” kata si bocah yang sok jadi ketua itu.
Aku hanya melengos padanyanya. Semua info di kelompokku yang menyampaikan adalah Septi, Rani, dan Rajo. Nah laki-laki satu itu yang ditunggu. Bukan tampangnya, tapi lucunya, polosnya yang menyebalkan. Bayangkan, matahari saja kalau mau terbenam tidak jadi, menunggu dia presentasi. Namun, untungnya matahari belum waktunya terbenam.
***
            Semua selesai, aku telah lelah dengan sisa-sisa kepenatan yang tidak kuinginkan. Aku pulang bareng dengan teman-temanku yang searah. Jalan kaki memang nikmat, tapi lelah mengusik kenikmatan kami. Aku bertemu temanku yang naik sepeda. Wah dia seperti mengiming-iming betapa cepat naik sepeda, tapi dia memilih jalan kaki bareng kami. Lalu, dia pamit lebih dahulu karena kita sudah keluar gerbang. Tempat tinggalku sudah menunggu dengan segenap ketentraman di dalamnya. Sudah tidak sabar ingin meletakkan punggung.
            “Oh my god, Silvi. Helmku ketinggalan. Dua helm milik ibu kosku.”
            “Serius Klara? Kok bawa dua? Kamu emang bawa motor?”
            “Iya dua, soalnya tadi temanku, si imut, pinjam. Waduh jauh lagi jalan kaki gimana ini?” aku terpikir biarkan saja. Besok juga aku akan ke sana mengambilnya.
            Aku memutuskan untuk acuh dengan helm itu. Semua mendukungku, aku lega. Aku melanjutkan langkah kakiku untuk membeli makan. Tidak ada dugaan dan sangkaan aku bertemu manusia, temanku, tadi yang naik sepeda. Aku alihkan acuhku menjadi tak acuh. Helm itu kuambil dengan roda dua yang harus dikayuh kencang. Oh tidak, aku lupa cara naik sepeda. Aku naik, sedikit jatuh, naik sedikit jatuh. Oh tidak, satu lagi yang aku rasakan, sepertinya ban sepeda depan kempes. Aduh! Ini membuatku semakin berat melangkah saja. Rasanya seakan kaki ini, kedua kaki ini lepas (copot). Seterusnya begitu sampai di tempat senior-senior tidak kece itu. Aku mengambil helm tanpa rasa damai karena lelah.
            “Sumpah ini kayak membakar kalori, kalau aku pulang badanku kurus. Nanti diusir ibu kosku gimana, karena dia nggak mengenaliku,” aku membayangkan hal itu.
            “Ah tidak mungkin, oh my god. Ini sama saja aku dengan jalan kaki.”
            Aku berbicara dengan diriku sendiri. biarkan orang berkata apa. Aku tambahi lagi kadar maluku. Kupakai helm itu di sepeda dan di kepalaku. Semua meneriakiku, takut ditilang ya, takut ditilang ya.
            “Iya juga sih, aku tidak punya SIM. Segitunya ya aku, takut ditilang sampai naik sepeda saja aku pakai helm,” aku merasa aku sudah gila, tapi demi helm aku bisa.
            Aku tiba di warung nasi, saat itu mereka masih duduk di depan sana seperti tukang parkir. Tertawaan mereka sudah cukup basi menurutku karena sejak dari sana sampai sini aku sudah ditertawai sepuluh ribu fans. Sudahlah. Kaki ini rasanya sudah copot. Sudah hari ini dibakar matahari, helm ketinggalan harus mengambil sendiri, dasar resiko sendiri, eh alias jomblo. Eh apa hubungannya. Sudahlah.