lilaemaliza

Sabtu, 07 November 2015

Cerpen Gubuk



Gubuk Gadis Mini
Di sebuah desa nampak seorang anak laki-laki yang sengaja sedang memepet perempuan di depannya yang sontak membuat perempuan itu kaget,
 Hei anak jalanan..! hahaha perempuan jelek kau!” kata Darma.
Sudahlah Dis, mereka belum tau tentang kamu!” kata Mualimah.
Ya memang aku benci saat mereka berkata seperti itu tapi aku harus tetap sabar, itu yang aku pelajari selama ini.” Gadis tampak tegar.
Mereka tiba di kamar Gadis dan cahaya tampak menembus celah-celah jendela, sahabat yang sedang berduaan diiringan nyanyian burung di langit kampung Maijakarta. Terlihat sumur tua tepat disebelah kamar Gadis dan reruntuhan gubuk sisa-sisa santapan si jago merah. Itu yang selalu menjadi pertanyaan Muslimah.
Memang kamu harus kehilangan sesuatu yang berharga untuk menyadarkanmu dari segala kedustaanmu.” Mualimah mulai menenangkan keadaan saat Gadis menatap reruntuhan itu.
Iya Alim, aku setuju. Dan sekarang aku telah bisa sadar dan mensyukuri apa yang aku miliki saat ini.” Sambil tersenyum melihat sahabatnya.
Tapi selama beberapa hari aku jadi sahabatmu, aku malah belum mengetahui  mengapa Darma memanggilmu anak jalanan?” tanya Mualimah dengan lugu.
Haha.. maaf Alim itu masa laluku.” Gadis meneteskan air mata.
Air mata yang jatuh mencerminkan kegelisahan bagai daun yang gugur dari rantingnya. Daun jatuh pasti ada yang berkehendak seperti halnya kegelisahan Gadis, Allah lah yang berkehendak atas itu semua. Namun segala sesuatu yang sulit akan terasa mudah apabila seseorang mengenal kesulitan itu sendiri, merawatnya bagaikan seorang dokter yang merawat pasiennya. Terkadang jika dilakukan dengan ikhlas pasien itu akan bebas, sebaliknya jika hanya karna egois sang dokter, pasienpun tidak akan bebas. Lain lagi dengan setelah berusaha tetapi kesulitan tetap tidak membebaskan diri, kembali lagi semua pasti ada yang berkehendak tetap ingat Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi kemampuannya!!!
“Gadis, hei hei jangan nangis! Kayak anak kecil aja. Aku gak maksa kamu lah, kalau itu emang rahasia, sahabatku tercinta!” Mualimah memeluknya dengan kasih sayang.
Iya kamu gak maksa, tapi gak ada salahnya aku bercerita.” Kata Gadis.
Oke..oke.. tapi dis, nih kentang gorengmu aku makan ya, keburu dingin! Haha minumku juga habis.” Mualimah tampak sangat lugu dan humoris.
Wah, iya iya silakan alim! Nanti aku buatkan lagi, aku ke belakang dulu buat teh lagi. Sebentar ya?”
Aduh, terima kasih ya!” malu-malu mau tingkah Alim.
Sebari menunggu Gadis membuat teh, Mualimah melihat perkakas yang ada di kamar Gadis yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Kertas yang berserakan semakin membuatnnya penasaran. Tampak bercahaya bagai seorang bidadari tercoret dalam kertas putih,
Apakah ini ibu Gadis?” kata Mualimah dengan lirih.
Coretan-coretan dari kertas putih yang tampak kusam jika disebut putih pun juga gak pantas.
Untuk Gadisku tercinta
Sekian lama aku menanti pertemuan ini
Lautan samudera kuarungi
Menempuh desakan angin yang mengikatku perlahan
Kupersembahkan coretan kecil yang telah kau buat dulu
Terimalah demi ibumu
Dari Sholihah.
Ehem.. sepucuk surat itu mengingatkanku saat gubuk itu terbakar (sambil menunjuk gubuk di luar), begitu menyesalnya diriku!” tiba-tiba Gadis nylonong berkata pada Mualimah.
Yang ini semua gambaran ibumu Dis?”
Bukan itu gambaranku saat aku masih tinggal bersama kedua orang tuaku.”
Gadis Muslimah, terdengar nama yang umum di telinga. Anak usia 13 tahun yang lagi labilnya mencari jati diri. Seorang anak saudagar dari Cina yang amat sangat kaya tak kurang satupun kebutuhannya. Coretan pena dalam kertas adalah curahan setiap harinya, karena ibu dan ayahnya terlalu sibuk bekerja. Bakat menuntunnya kepada jati diri dan kedewasaan, kepercayaan serta keyakinannya menjadi seorang seniman hebat yang membuatnya semakin kuat. Memanglah seorang seniman bukan impian orang tuanya untuk gadis satu-satunya ini. Selayaknya perempuan usia 13 tahun dia tak bisa menerima keputusan orangtuanya itu, tetapicat dan kanvas serta lembut alunan nada  dari bibirnya selalu mengiringi kesedihan yang ia alami.
Selang beberapa tahun, ibunya mulai mendukung tetapi lain lagi dengan seorang ayah. Keadaan mendesak membuatnya meninggalkan rumah dan melakukan segala percobaan dalam kehidupannya. Umur 17 tahun, perempuan cantik ini terjun ke dalam kehidupan keras di jalanan kota, sampai ia menemukan pedesaan, tepat di kampung Maijakarta. Dia membuka lembaran baru tetap dengan perasaan seorang anak jalanan yang sangat ia rasakan.
Rumah kecil, bisa dibilang gubuk, berdinding anyaman bambu dengan beranda ciut, satu kamar tamu, kamar mandi, dan kamar tidur. Ini membuka peluang untuknya menjual lukisannya, tetapi sial enam bulan berjalan dia hanya menghasilkan uang senilai satu karung beras saja.
Alih profesi, satu-satunya cara yang ia tempuh untuk menyambung kehidupan sekarung berasnya. Awalnya terlihat gubuk menjadi kedai minuman. Gubuk Gadis  Mini namanya. Kain mini sebatas dada terlihat mulusnya keindahan yang terpancar serba mini, menawarkan mulusnya yang hanya miliki saat itu dan yang ia bisa, setiap hari ramai pelanggan yang harus ia layani dengan sepenuh hati walaupun harganya rendah karena ini baru pertama ia lakukan seumur hidupnya melebihi menjadi anak jalanan di kota-kota besar yang pernah ia jalani, dengan itu dia bisa hidup layak. Kain mini itu adalah penutup dinding yang hanya setinggi dada, karena itu yang ia miliki saat dia mendirikan kedai minuman Gubuk Gadis Mini itu. Cangkir yang masih mulus membuatnya menawarkan dengan harga rendah untuk awal pemasaran, itu rahasia ayahnya berdagang untuk mendobrak pasaran. Sesungguhnya Gadis yang cantik, kain putih yang selalu menutup kepalanya membuat ia sangat suci sejak kecil ibunya sudah mengajarinya memakai kerudung, saat usia 18 tahun ia memulainya lagi. Salah satu warga kampung Maijakarta, Kohsam namanya, dia adalah saingan kedai Gadis, orang yang selalu membenci Gadis karena baginya Gadis yang menyusutkan penghasilannya. Tetapi ingat rizki itu Allah yang ngatur. Sampai suatu saat Gadis bisa membangun rumah lebih layak berdinding batu bata tanpa menghilangkan gubuk. Kohsam lah yang akhirnya membakar gubuknya dan sampai saat ini anaknya yang bernama Darma selalu memanggil Gadis dengan julukan Anak Jalanan.
“Mualimah, maaf ya aku gak bisa cerita banyak sama kamu, yang jelas gubuk itu dulu sumber rizki yang diberikan Allah padaku! Soal Darma dia memang begitu dari dulu, semoga saja Allah segera menyadarkannya” kata Gadis sambil menata serakan coretan gambarannya.
“SubhanAllah. Hatimu sungguh mulia Gadis, aku memang orang baru di sini, tetapi sudah memiliki sahabat sepertimu, alhamdulillah!” kata Mualimah sambil membenarkan kerudung dari tadi, terlihat sangat lugu.
“(tersenyum melihat Alim, sambil mengusap pipi Mualimah) Iya aku juga bersyukur punya sahabat sepertimu walau umur kita beda jauh, tetapi walau aku baru 18 tahun sudah banyak pelajaran dan pengalaman yang aku dapatkan.” Terang Gadis.
Mungkin ujian yang kau alami adalah cobaan yang harus dijalani untuk menemukan jati diri dan membuatmu selalu bersyukur dengan selalu diiringi senyuman yang dapat menembus kesedihan apapun.” Mualaimah terlihat serius.
Wah bener itu, dan juga Allah memiliki cahaya yang ada dalam hati seseorang, kita harus bisa meraih cahaya itu dengan menghilangkan kegelapan dalam hati kita juga tentunya.” Sambil tersenyum menatap Mualimah.
Aku jadi terharu Gadis, bagaimana aku menghadapi masa kerjaku akan datang sedangkan aku saja sudah sekolah masih suka nangis, betapa cengengnya aku.” Kata Mualimah.
Sudahlah, kan ada Allah dan juga sahabatmu ini. Sahabat itu seperti tanda penjumlahan dan tanda sama dengan dalam matematika, ketika ada tanda penjumlahan selalu dilanjutkan dengan sama dengan. Jadi saling melengkapi juga seperti sepatu, ada kanan dan kiri. Jika kiri tanpa kanan akan tidak ada artinya.” Kata Gadis sambil memegang tangan Mualimah.
“(memeluk Gadis) Wah, ah tidak terasa ini sudah duhur, aku pamit pulang dan kita berjamaah bersama yuk!”
Oke..”
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu.”
Waalaikumusalam warahmatullahi wabarokatu. Hati-hati ya, jangan kapok main ke sini”
(Mualimah meninggalkan kamar Gadis dan menuju rumahnya)
Saat aku melihat gambar ini aku merasa masih kecil, sedang menggambar ditemeni ibu tercinta” (sambil memandang gambarannya).
“Aku memang bukan seorang anak yang baik di masa lalu, ayahku dan aku tak pernah akur, walau ibuku terus membelaku tetapi aku tetap gak pernah akur, aku sendiri juga gak tau sebabnya. Saat aku pergi dari rumah gak mikir apa yang bakal terjadi, akhirnya aku jadi anak jalanan yang begitu kejam dan anarkis, ah sudahlah itu masa lalu!” gumam si Gadis.
Kemudian cermin menunjukkan betapa beruntungnya ia sekarang,
Tetapi sejak aku bertemu ibu Mualimah yang mengenalkanku pada-Nya, aku bisa tobat dari kebiasaanku, mungkin terbakarnya warungku juga menjadi dasar untukku bangkit dari kedustaan yang kujalani di jalanan. Ibu Rofiah, seorang yang menyadarkanku, ia mengajariku selalu bersyukur dan beribadah salat, jilbab inipun ia yang memberi serta aku membuat kehormatan diriku terjaga dengan ini. Aku seorang yang sangat beruntung, jarang orang yang tobat kala dia masih muda apalagi tobat! tobat! tobat dari masa lalu yang suram, keras, dan gelap. Aku sangat beruntung!”
Aku yakin pasti ada yang berkehendak aku masuk kehidupan yang gelap, keras, dan aku bertemu ibu Rofiah.  Allah yang selalu berkehendak untuk aku kembali ke jalan yang benar, dengan landasan Islam itu indah, Allah lah pemilik agama itu, Yang Maha Kuasa! Ku tersenyum” (berkata dengan yakin di depan cermin seakan ia menemukan kecerahan di dalam hidupnya).




Yuk intip cerita lain, klik ini: Molly, kisah sahabat sejati