Gubuk
Gadis Mini
Di sebuah desa nampak seorang anak laki-laki yang sengaja
sedang memepet perempuan di depannya yang sontak membuat perempuan itu kaget,
“Hei anak jalanan..! hahaha
perempuan jelek kau!” kata Darma.
“Sudahlah Dis, mereka belum tau tentang
kamu!” kata Mualimah.
“Ya memang aku benci saat
mereka berkata seperti itu tapi aku harus tetap sabar, itu yang aku pelajari
selama ini.” Gadis tampak tegar.
Mereka tiba di kamar Gadis dan cahaya tampak menembus
celah-celah jendela, sahabat yang sedang berduaan diiringan nyanyian burung
di langit kampung Maijakarta. Terlihat sumur tua tepat disebelah kamar Gadis dan reruntuhan
gubuk sisa-sisa santapan si jago merah. Itu
yang selalu menjadi pertanyaan Muslimah.
“Memang kamu harus
kehilangan sesuatu yang berharga untuk menyadarkanmu dari segala kedustaanmu.”
Mualimah mulai menenangkan keadaan
saat Gadis menatap reruntuhan itu.
“Iya Alim, aku setuju. Dan
sekarang aku telah bisa sadar dan mensyukuri apa yang aku miliki saat ini.”
Sambil tersenyum melihat sahabatnya.
“Tapi selama beberapa hari
aku jadi sahabatmu, aku malah belum mengetahui mengapa Darma memanggilmu anak jalanan?” tanya
Mualimah dengan lugu.
“Haha.. maaf Alim itu masa laluku.” Gadis
meneteskan air mata.
Air
mata yang jatuh mencerminkan kegelisahan bagai daun yang gugur dari rantingnya.
Daun jatuh pasti ada yang
berkehendak seperti halnya kegelisahan Gadis, Allah lah yang berkehendak atas
itu semua. Namun segala sesuatu yang sulit akan terasa mudah apabila seseorang
mengenal kesulitan itu sendiri, merawatnya bagaikan seorang dokter yang merawat
pasiennya. Terkadang jika dilakukan dengan ikhlas pasien itu akan bebas,
sebaliknya jika hanya karna egois sang dokter, pasienpun tidak akan bebas. Lain
lagi dengan setelah berusaha tetapi kesulitan tetap tidak membebaskan diri,
kembali lagi semua pasti ada yang
berkehendak tetap ingat Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi
kemampuannya!!!
“Gadis,
hei hei jangan nangis! Kayak anak kecil aja. Aku gak maksa kamu lah, kalau itu
emang rahasia, sahabatku tercinta!” Mualimah memeluknya dengan kasih sayang.
“Iya kamu gak maksa, tapi
gak ada salahnya aku bercerita.” Kata Gadis.
“Oke..oke.. tapi dis, nih
kentang gorengmu aku makan ya, keburu dingin! Haha minumku juga habis.”
Mualimah tampak sangat lugu dan humoris.
“Wah, iya iya silakan alim!
Nanti aku buatkan lagi, aku ke belakang dulu buat teh lagi. Sebentar ya?”
“Aduh, terima kasih ya!” malu-malu mau tingkah Alim.
Sebari
menunggu Gadis membuat teh, Mualimah melihat perkakas yang ada di kamar Gadis
yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Kertas yang berserakan semakin
membuatnnya penasaran. Tampak bercahaya bagai seorang bidadari tercoret dalam kertas putih,
“Apakah ini ibu Gadis?”
kata Mualimah dengan lirih.
Coretan-coretan
dari kertas putih yang tampak kusam jika disebut putih pun juga gak pantas.
Untuk Gadisku tercinta
Sekian lama aku menanti
pertemuan ini
Lautan samudera kuarungi
Menempuh desakan angin
yang mengikatku perlahan
Kupersembahkan coretan
kecil yang telah kau buat dulu
Terimalah demi ibumu
Dari Sholihah.
“Ehem.. sepucuk surat itu
mengingatkanku saat gubuk itu terbakar (sambil menunjuk gubuk di luar), begitu menyesalnya
diriku!” tiba-tiba Gadis nylonong berkata pada Mualimah.
“Yang ini semua gambaran
ibumu Dis?”
“Bukan itu gambaranku saat
aku masih tinggal bersama kedua orang tuaku.”
Gadis
Muslimah, terdengar nama yang umum
di telinga. Anak usia 13 tahun yang lagi labilnya mencari jati diri. Seorang
anak saudagar dari Cina yang amat sangat kaya tak kurang satupun kebutuhannya.
Coretan pena dalam kertas adalah curahan setiap harinya, karena ibu dan ayahnya
terlalu sibuk bekerja. Bakat menuntunnya kepada jati diri dan kedewasaan,
kepercayaan serta keyakinannya menjadi seorang seniman hebat yang membuatnya semakin kuat.
Memanglah seorang seniman bukan impian orang tuanya untuk gadis satu-satunya
ini. Selayaknya perempuan usia 13 tahun dia tak bisa menerima keputusan
orangtuanya itu, tetapicat dan kanvas serta lembut alunan nada dari bibirnya selalu mengiringi kesedihan yang ia alami.
Selang
beberapa tahun, ibunya mulai mendukung tetapi
lain lagi dengan seorang ayah. Keadaan mendesak membuatnya meninggalkan rumah
dan melakukan segala percobaan
dalam kehidupannya. Umur 17 tahun,
perempuan cantik ini terjun ke dalam kehidupan keras di jalanan kota, sampai ia
menemukan pedesaan, tepat di kampung Maijakarta.
Dia membuka lembaran baru tetap dengan perasaan seorang anak jalanan yang
sangat ia rasakan.
Rumah
kecil, bisa dibilang gubuk, berdinding anyaman bambu dengan beranda ciut, satu kamar tamu, kamar mandi, dan
kamar tidur. Ini membuka peluang untuknya menjual lukisannya, tetapi sial enam
bulan berjalan dia hanya menghasilkan uang senilai satu karung beras saja.
Alih
profesi, satu-satunya cara yang ia tempuh untuk menyambung kehidupan sekarung
berasnya. Awalnya terlihat gubuk menjadi kedai minuman. Gubuk Gadis Mini namanya. Kain mini sebatas dada terlihat
mulusnya keindahan yang terpancar serba mini, menawarkan mulusnya yang hanya
miliki saat itu dan yang ia bisa, setiap hari ramai pelanggan yang harus ia
layani dengan sepenuh hati walaupun harganya rendah karena ini baru pertama ia
lakukan seumur hidupnya melebihi menjadi anak jalanan di kota-kota besar yang
pernah ia jalani, dengan itu dia bisa hidup layak. Kain mini itu adalah penutup
dinding yang hanya setinggi dada, karena itu yang ia miliki saat dia mendirikan
kedai minuman Gubuk Gadis Mini itu. Cangkir yang masih mulus membuatnya
menawarkan dengan harga rendah untuk awal pemasaran, itu rahasia ayahnya
berdagang untuk mendobrak pasaran. Sesungguhnya Gadis yang cantik, kain putih
yang selalu menutup kepalanya membuat ia sangat suci sejak kecil ibunya sudah
mengajarinya memakai kerudung, saat usia 18 tahun ia memulainya lagi. Salah
satu warga kampung Maijakarta, Kohsam namanya, dia adalah saingan kedai Gadis, orang yang selalu
membenci Gadis karena baginya Gadis
yang menyusutkan penghasilannya. Tetapi ingat rizki itu Allah yang ngatur.
Sampai suatu saat Gadis bisa membangun rumah lebih layak berdinding batu bata
tanpa menghilangkan gubuk. Kohsam lah
yang akhirnya membakar gubuknya dan sampai saat ini
anaknya yang bernama Darma selalu memanggil Gadis dengan julukan Anak Jalanan.
“Mualimah,
maaf ya aku gak bisa cerita banyak sama kamu, yang jelas gubuk itu dulu sumber
rizki yang diberikan Allah padaku! Soal Darma dia memang begitu dari dulu,
semoga saja Allah segera menyadarkannya” kata Gadis sambil menata serakan
coretan gambarannya.
“SubhanAllah.
Hatimu sungguh mulia Gadis, aku memang orang baru di sini, tetapi sudah
memiliki sahabat sepertimu, alhamdulillah!” kata Mualimah sambil membenarkan kerudung dari
tadi, terlihat sangat lugu.
“(tersenyum
melihat Alim, sambil mengusap pipi
Mualimah) Iya
aku juga bersyukur punya sahabat sepertimu walau umur kita beda jauh, tetapi
walau aku baru 18 tahun sudah banyak pelajaran dan pengalaman yang aku
dapatkan.” Terang Gadis.
“Mungkin ujian yang kau
alami adalah cobaan yang harus dijalani untuk menemukan jati diri dan membuatmu
selalu bersyukur dengan selalu diiringi senyuman yang dapat menembus kesedihan
apapun.” Mualaimah terlihat serius.
“Wah bener itu, dan juga
Allah memiliki cahaya
yang ada dalam hati seseorang, kita harus bisa meraih cahaya itu dengan
menghilangkan kegelapan dalam hati kita juga tentunya.” Sambil tersenyum
menatap Mualimah.
“Aku jadi terharu Gadis,
bagaimana aku menghadapi masa kerjaku akan datang sedangkan aku saja sudah
sekolah masih suka nangis, betapa cengengnya aku.” Kata Mualimah.
“Sudahlah, kan ada Allah
dan juga sahabatmu ini. Sahabat itu seperti tanda penjumlahan dan tanda sama
dengan dalam matematika, ketika ada tanda penjumlahan selalu dilanjutkan dengan
sama dengan. Jadi saling melengkapi juga seperti sepatu, ada kanan dan kiri.
Jika kiri tanpa kanan akan tidak ada artinya.” Kata Gadis sambil memegang
tangan Mualimah.
“(memeluk
Gadis) Wah, ah tidak terasa ini
sudah duhur, aku pamit pulang dan kita berjamaah bersama yuk!”
“Oke..”
“Assalamualaikum
warahmatullahi wabarokatu.”
“Waalaikumusalam
warahmatullahi wabarokatu. Hati-hati ya, jangan kapok main ke sini”
(Mualimah meninggalkan kamar Gadis dan menuju rumahnya)
“Saat aku melihat gambar
ini aku merasa masih kecil, sedang menggambar
ditemeni ibu tercinta” (sambil memandang gambarannya).
“Aku
memang bukan seorang anak yang baik di masa lalu, ayahku dan aku tak pernah
akur, walau ibuku terus membelaku tetapi aku tetap gak pernah akur, aku sendiri
juga gak tau sebabnya. Saat aku pergi dari rumah gak mikir apa yang bakal
terjadi, akhirnya aku jadi anak jalanan yang begitu kejam dan anarkis, ah
sudahlah itu masa lalu!” gumam si Gadis.
Kemudian
cermin menunjukkan betapa beruntungnya ia sekarang,
“Tetapi sejak aku bertemu
ibu Mualimah yang mengenalkanku pada-Nya,
aku bisa tobat dari kebiasaanku, mungkin terbakarnya warungku juga menjadi
dasar untukku bangkit dari kedustaan
yang kujalani di jalanan. Ibu Rofiah, seorang
yang menyadarkanku, ia mengajariku selalu bersyukur dan beribadah salat, jilbab
inipun ia yang memberi serta aku membuat kehormatan diriku terjaga dengan ini.
Aku seorang yang sangat beruntung, jarang orang yang tobat kala dia masih muda
apalagi tobat! tobat! tobat dari masa lalu yang suram, keras, dan gelap. Aku
sangat beruntung!”
“Aku yakin pasti ada yang
berkehendak aku masuk kehidupan yang gelap, keras, dan aku bertemu ibu
Rofiah. Allah yang selalu berkehendak
untuk aku kembali ke jalan yang benar, dengan landasan Islam itu indah, Allah
lah pemilik agama itu, Yang Maha Kuasa! Ku tersenyum” (berkata dengan yakin di
depan cermin seakan ia menemukan kecerahan di dalam hidupnya).
Yuk intip cerita lain, klik ini: Molly, kisah sahabat sejati
Yuk intip cerita lain, klik ini: Molly, kisah sahabat sejati