lilaemaliza

Sabtu, 07 November 2015

Cerpen Gubuk



Gubuk Gadis Mini
Di sebuah desa nampak seorang anak laki-laki yang sengaja sedang memepet perempuan di depannya yang sontak membuat perempuan itu kaget,
 Hei anak jalanan..! hahaha perempuan jelek kau!” kata Darma.
Sudahlah Dis, mereka belum tau tentang kamu!” kata Mualimah.
Ya memang aku benci saat mereka berkata seperti itu tapi aku harus tetap sabar, itu yang aku pelajari selama ini.” Gadis tampak tegar.
Mereka tiba di kamar Gadis dan cahaya tampak menembus celah-celah jendela, sahabat yang sedang berduaan diiringan nyanyian burung di langit kampung Maijakarta. Terlihat sumur tua tepat disebelah kamar Gadis dan reruntuhan gubuk sisa-sisa santapan si jago merah. Itu yang selalu menjadi pertanyaan Muslimah.
Memang kamu harus kehilangan sesuatu yang berharga untuk menyadarkanmu dari segala kedustaanmu.” Mualimah mulai menenangkan keadaan saat Gadis menatap reruntuhan itu.
Iya Alim, aku setuju. Dan sekarang aku telah bisa sadar dan mensyukuri apa yang aku miliki saat ini.” Sambil tersenyum melihat sahabatnya.
Tapi selama beberapa hari aku jadi sahabatmu, aku malah belum mengetahui  mengapa Darma memanggilmu anak jalanan?” tanya Mualimah dengan lugu.
Haha.. maaf Alim itu masa laluku.” Gadis meneteskan air mata.
Air mata yang jatuh mencerminkan kegelisahan bagai daun yang gugur dari rantingnya. Daun jatuh pasti ada yang berkehendak seperti halnya kegelisahan Gadis, Allah lah yang berkehendak atas itu semua. Namun segala sesuatu yang sulit akan terasa mudah apabila seseorang mengenal kesulitan itu sendiri, merawatnya bagaikan seorang dokter yang merawat pasiennya. Terkadang jika dilakukan dengan ikhlas pasien itu akan bebas, sebaliknya jika hanya karna egois sang dokter, pasienpun tidak akan bebas. Lain lagi dengan setelah berusaha tetapi kesulitan tetap tidak membebaskan diri, kembali lagi semua pasti ada yang berkehendak tetap ingat Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi kemampuannya!!!
“Gadis, hei hei jangan nangis! Kayak anak kecil aja. Aku gak maksa kamu lah, kalau itu emang rahasia, sahabatku tercinta!” Mualimah memeluknya dengan kasih sayang.
Iya kamu gak maksa, tapi gak ada salahnya aku bercerita.” Kata Gadis.
Oke..oke.. tapi dis, nih kentang gorengmu aku makan ya, keburu dingin! Haha minumku juga habis.” Mualimah tampak sangat lugu dan humoris.
Wah, iya iya silakan alim! Nanti aku buatkan lagi, aku ke belakang dulu buat teh lagi. Sebentar ya?”
Aduh, terima kasih ya!” malu-malu mau tingkah Alim.
Sebari menunggu Gadis membuat teh, Mualimah melihat perkakas yang ada di kamar Gadis yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Kertas yang berserakan semakin membuatnnya penasaran. Tampak bercahaya bagai seorang bidadari tercoret dalam kertas putih,
Apakah ini ibu Gadis?” kata Mualimah dengan lirih.
Coretan-coretan dari kertas putih yang tampak kusam jika disebut putih pun juga gak pantas.
Untuk Gadisku tercinta
Sekian lama aku menanti pertemuan ini
Lautan samudera kuarungi
Menempuh desakan angin yang mengikatku perlahan
Kupersembahkan coretan kecil yang telah kau buat dulu
Terimalah demi ibumu
Dari Sholihah.
Ehem.. sepucuk surat itu mengingatkanku saat gubuk itu terbakar (sambil menunjuk gubuk di luar), begitu menyesalnya diriku!” tiba-tiba Gadis nylonong berkata pada Mualimah.
Yang ini semua gambaran ibumu Dis?”
Bukan itu gambaranku saat aku masih tinggal bersama kedua orang tuaku.”
Gadis Muslimah, terdengar nama yang umum di telinga. Anak usia 13 tahun yang lagi labilnya mencari jati diri. Seorang anak saudagar dari Cina yang amat sangat kaya tak kurang satupun kebutuhannya. Coretan pena dalam kertas adalah curahan setiap harinya, karena ibu dan ayahnya terlalu sibuk bekerja. Bakat menuntunnya kepada jati diri dan kedewasaan, kepercayaan serta keyakinannya menjadi seorang seniman hebat yang membuatnya semakin kuat. Memanglah seorang seniman bukan impian orang tuanya untuk gadis satu-satunya ini. Selayaknya perempuan usia 13 tahun dia tak bisa menerima keputusan orangtuanya itu, tetapicat dan kanvas serta lembut alunan nada  dari bibirnya selalu mengiringi kesedihan yang ia alami.
Selang beberapa tahun, ibunya mulai mendukung tetapi lain lagi dengan seorang ayah. Keadaan mendesak membuatnya meninggalkan rumah dan melakukan segala percobaan dalam kehidupannya. Umur 17 tahun, perempuan cantik ini terjun ke dalam kehidupan keras di jalanan kota, sampai ia menemukan pedesaan, tepat di kampung Maijakarta. Dia membuka lembaran baru tetap dengan perasaan seorang anak jalanan yang sangat ia rasakan.
Rumah kecil, bisa dibilang gubuk, berdinding anyaman bambu dengan beranda ciut, satu kamar tamu, kamar mandi, dan kamar tidur. Ini membuka peluang untuknya menjual lukisannya, tetapi sial enam bulan berjalan dia hanya menghasilkan uang senilai satu karung beras saja.
Alih profesi, satu-satunya cara yang ia tempuh untuk menyambung kehidupan sekarung berasnya. Awalnya terlihat gubuk menjadi kedai minuman. Gubuk Gadis  Mini namanya. Kain mini sebatas dada terlihat mulusnya keindahan yang terpancar serba mini, menawarkan mulusnya yang hanya miliki saat itu dan yang ia bisa, setiap hari ramai pelanggan yang harus ia layani dengan sepenuh hati walaupun harganya rendah karena ini baru pertama ia lakukan seumur hidupnya melebihi menjadi anak jalanan di kota-kota besar yang pernah ia jalani, dengan itu dia bisa hidup layak. Kain mini itu adalah penutup dinding yang hanya setinggi dada, karena itu yang ia miliki saat dia mendirikan kedai minuman Gubuk Gadis Mini itu. Cangkir yang masih mulus membuatnya menawarkan dengan harga rendah untuk awal pemasaran, itu rahasia ayahnya berdagang untuk mendobrak pasaran. Sesungguhnya Gadis yang cantik, kain putih yang selalu menutup kepalanya membuat ia sangat suci sejak kecil ibunya sudah mengajarinya memakai kerudung, saat usia 18 tahun ia memulainya lagi. Salah satu warga kampung Maijakarta, Kohsam namanya, dia adalah saingan kedai Gadis, orang yang selalu membenci Gadis karena baginya Gadis yang menyusutkan penghasilannya. Tetapi ingat rizki itu Allah yang ngatur. Sampai suatu saat Gadis bisa membangun rumah lebih layak berdinding batu bata tanpa menghilangkan gubuk. Kohsam lah yang akhirnya membakar gubuknya dan sampai saat ini anaknya yang bernama Darma selalu memanggil Gadis dengan julukan Anak Jalanan.
“Mualimah, maaf ya aku gak bisa cerita banyak sama kamu, yang jelas gubuk itu dulu sumber rizki yang diberikan Allah padaku! Soal Darma dia memang begitu dari dulu, semoga saja Allah segera menyadarkannya” kata Gadis sambil menata serakan coretan gambarannya.
“SubhanAllah. Hatimu sungguh mulia Gadis, aku memang orang baru di sini, tetapi sudah memiliki sahabat sepertimu, alhamdulillah!” kata Mualimah sambil membenarkan kerudung dari tadi, terlihat sangat lugu.
“(tersenyum melihat Alim, sambil mengusap pipi Mualimah) Iya aku juga bersyukur punya sahabat sepertimu walau umur kita beda jauh, tetapi walau aku baru 18 tahun sudah banyak pelajaran dan pengalaman yang aku dapatkan.” Terang Gadis.
Mungkin ujian yang kau alami adalah cobaan yang harus dijalani untuk menemukan jati diri dan membuatmu selalu bersyukur dengan selalu diiringi senyuman yang dapat menembus kesedihan apapun.” Mualaimah terlihat serius.
Wah bener itu, dan juga Allah memiliki cahaya yang ada dalam hati seseorang, kita harus bisa meraih cahaya itu dengan menghilangkan kegelapan dalam hati kita juga tentunya.” Sambil tersenyum menatap Mualimah.
Aku jadi terharu Gadis, bagaimana aku menghadapi masa kerjaku akan datang sedangkan aku saja sudah sekolah masih suka nangis, betapa cengengnya aku.” Kata Mualimah.
Sudahlah, kan ada Allah dan juga sahabatmu ini. Sahabat itu seperti tanda penjumlahan dan tanda sama dengan dalam matematika, ketika ada tanda penjumlahan selalu dilanjutkan dengan sama dengan. Jadi saling melengkapi juga seperti sepatu, ada kanan dan kiri. Jika kiri tanpa kanan akan tidak ada artinya.” Kata Gadis sambil memegang tangan Mualimah.
“(memeluk Gadis) Wah, ah tidak terasa ini sudah duhur, aku pamit pulang dan kita berjamaah bersama yuk!”
Oke..”
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu.”
Waalaikumusalam warahmatullahi wabarokatu. Hati-hati ya, jangan kapok main ke sini”
(Mualimah meninggalkan kamar Gadis dan menuju rumahnya)
Saat aku melihat gambar ini aku merasa masih kecil, sedang menggambar ditemeni ibu tercinta” (sambil memandang gambarannya).
“Aku memang bukan seorang anak yang baik di masa lalu, ayahku dan aku tak pernah akur, walau ibuku terus membelaku tetapi aku tetap gak pernah akur, aku sendiri juga gak tau sebabnya. Saat aku pergi dari rumah gak mikir apa yang bakal terjadi, akhirnya aku jadi anak jalanan yang begitu kejam dan anarkis, ah sudahlah itu masa lalu!” gumam si Gadis.
Kemudian cermin menunjukkan betapa beruntungnya ia sekarang,
Tetapi sejak aku bertemu ibu Mualimah yang mengenalkanku pada-Nya, aku bisa tobat dari kebiasaanku, mungkin terbakarnya warungku juga menjadi dasar untukku bangkit dari kedustaan yang kujalani di jalanan. Ibu Rofiah, seorang yang menyadarkanku, ia mengajariku selalu bersyukur dan beribadah salat, jilbab inipun ia yang memberi serta aku membuat kehormatan diriku terjaga dengan ini. Aku seorang yang sangat beruntung, jarang orang yang tobat kala dia masih muda apalagi tobat! tobat! tobat dari masa lalu yang suram, keras, dan gelap. Aku sangat beruntung!”
Aku yakin pasti ada yang berkehendak aku masuk kehidupan yang gelap, keras, dan aku bertemu ibu Rofiah.  Allah yang selalu berkehendak untuk aku kembali ke jalan yang benar, dengan landasan Islam itu indah, Allah lah pemilik agama itu, Yang Maha Kuasa! Ku tersenyum” (berkata dengan yakin di depan cermin seakan ia menemukan kecerahan di dalam hidupnya).




Yuk intip cerita lain, klik ini: Molly, kisah sahabat sejati

Selasa, 27 Oktober 2015

Cerpen Sahabat



Sahabat Hati
Ini adalah kisah persahabatan dua insan yang selalu bersama. Deno dan Fatimah. Hari berganti hari selalu diarungi bersama, detik demi detik selalu berlayar ke negeri yang memang mereka harus bertugas. Di taman bermain selalu berteman dengan decit papan ayunan, jungkat jungkit, dan meluncur dengan kecepatan maksimal di papan prosotan. Tempat yang selalu mereka rindukan saat memejamkan mata, mengurutkan angka-angka dari satu sampai sepuluh, agar mereka dapat bermain petak umpet.
Malam yang dingin ditengah kesunyian ruang kosong di pinggir jalan,
“Den, aku takut di rumah sendirian!” raut wajah manis dengan muka tertekuk dan merengek.
“Kenapa ndak berani? Orangtuamu di rumah kan?” sambil memegang tangan Fatimah yang sangat dingin.
“Kamu bercanda atau bergurau? Dasar! Tadi kan ku bilang AKU DI RUMAH SENDIRIAN, kok pakek tanya orangtuaku di rumah atau gak? Ya jelas ndak lah!” kata Fatimah sambil berteriak karena jengkel dengan pertanyaan Dano.
“Loh loh, kok malah marah. Bicara di rumahku aja lah!” kata Deno cuek.
Selangkah menuju istana megah bertaburan sinar lampu bagai pasar malam, berselimut taman bunga dan kolam renang bag pantai pasir putih, ini lah rumah Deno.
Deno mengetuk pintu rumah sendiri (tok tok tok), ini hal yang tak biasa.
“kenapa ketuk pintu di rumah sendiri? Aneh, gak seperti biasa?” kata Fatimah.
“Tet tot, kena deh. Siapa yang mau buka kan pintu, orang di rumah gak ada orang, nih aku yang bawa kuncinya! Yuk masuk Fat!” ejek Deno sambil cengar-cengir menunjukkan kunci rumahnya.
Wajah merah padam tampak pada raut muka si Fatimah yang gugup, heran, malu, dan kagum dengan sahabatnya yang satu ini, anak saudagar dari kampung terpencil di kota Kediri. Menurut Fatimah tak ada kata kurang dalam hidup Deno. Namun tampilan luar yang gak pernah kurang sepeser hartapun beda dengan tampilan dalam yang  hancur tanpa  kasih sayang.
“Ada makanan gak Den? Lapar nih! Huhu” rengek Fatimah sambil memegangi perutnya tanpa lihat kondisi Deno yang sendirian di rumah.
“Pasti ada dong Fat, tapi sebelum makan ke kamarku dulu yuk?”  minta Deno sembari menggandeng tangan Fatimah.
“Hah? Oke lah, yuk mari.” Dijawabnya kaget sambil mengagumi keindahan kediaman Deno walau sudah tak asing lagi baginya.
Di lepasnya baju berkeringat, sampai tak tau lagi bau apa dalam baju itu, busuk? Iya, wangipun juga iya. Di ambilnya ganti baju dari lemari yang masih semerbak harum nan wangi.
“Tet tot! Nih kamarku, mau main game gak? Tapi tetep pake rongsokan lama, laptop, yang setia menemaniku di malam dingin dan sendiriaaaan.” Katanya sambil merendah.
Fatimah bengong melolong gak kepayang, orang lagi lapar di ajak nggame, suara perutnya bernyayi semerdu suara Agnes Monica, yang berkicau setiap ia memegangnya.
“Huhu, aku lagi lapar Den malah di ajak nggame!” katanya sambil merengek memegang perut.
“Hah cerewet kamu! Upps” menutup mulutnya dengan empat jari.
Kata yang tak pernah ingin didengar dan kata yang membuat telinga Fatimah jadi panas “cerewet”,
“Kamu bilang apa tadi hah? Cerewet?”
“Tet tot, iya emang kenapa? Mau marah? Iya ha?” ledek Deno yang kangen melihat raungan si fatimah yang tak lama muncul.
“Deno jelek!!!!!” teriak dan mengejar Deno bagai banteng.
Sudut melangkah ke sudut, lapang melangkah ke lapang, sempit melangkah ke sempit, seperti tikus yang ketahuan mencuri roti, menyelinap sana menyelinap sini, tak tau aturan, merobohkan semua yang di lewati bagaikan kapal tenggelam di laut melebihi Titanic.
“Den, kamu dimana? Kalo gak pengen aku marah jangan ngatain aku cerewet dong! Den! Kamu sengaja ngumpet ya? Deno nyebelin, jelek!”  kata Fatimah ketakutan.
“Kalau kamu gak nongol sekarang, aku pulang nih! Gak ku temeni nggame dan makan, beneran aku pulang nih!” kata Fatimah ragu karena kalau pulang pun dia gak berani di rumah sendirian sambil menuju pintu belakang rumah Deno.
“Aku di kamar Fat. Lagi asyik nggame, ada apa teriak-teriak? Mau pulang?” kata Deno cuek, santai tak tau kalau Fatimah ketakutan.
“Gak pulang deh. Huhu, nggame yuk? Angry bird ya?” katanya semangat.
“Hah lagi asyik main Drive nih! Sekali-kali main Under Ground, Most Wanted, atau NFS Shift gitu dong, jangan Angry Bird terus kamu.” Saat itu Fatimah hanya diam.
Gadis cantik, manis, dan imut, Fatimah, 6 tahun yang baru merasakan menduduki kursi ruang kelas Sekolah Dasar Kanjeng 3 Kediri. Bukan bangunan yang megah dengan tanah lapang bertaburan lampu kemerlip saat petang. Bukan seperti itu, bukan juga bangunan yang hampir rubuh. SD Kanjeng 3 Kediri ini adalah SD biasa dengan fasilitas standar namun kenyamanan belajar terjamin.
Dentang jam bernyanyi terlihat jarum jam tepat membentuk sudut 90 derajat. Jarum terpanjang menunjuk angka 12, jarum terpendek menunjuk angka 9. Detik jampun berdetak, tik tok tik tok. Bagaikan suara penjual bakso dengan alunan yang lebih merdu. Malam telah larut, mereka masih asyik bermain tanpa memikirkan perut mereka yang kosong. Suara bel sempat berdering, tanda Mama-Papa Deno telah pulang atau Emak-Bapak Fatimah yang menekannya untuk mencari anaknya yang tak ada di kediaman mereka.
Namun kalau Fatimah pulang malam, ayahnya yang selalu mengamuk, dan hanya ibunya yang menolong. Biarpun begitu Emak-Bapaknya gak pernah mencarinya,
“Pak anakmu nyandi yo? (pak anakmu kemana ya?)
“Anakmu barang, halah paling nok omahe Deno. Bocah kok betahe neng kerajaane uwong. Ndang turu kono mak sliramu! (itu anakmu juga, halah paling-paling di rumah Deno. Anak kok sukanya di rumah orang. Sudah cepet tidur kamu mak!).”
Itu lah kata-kata yang selalu dikatakan orangtua Fatimah jika ia tidak pulang, namun jika ia menginjakkan kaki di rumah orangtuanya untuk pulang pasti di amuk oleh bapaknya, kenapa keluar gak dicari pulang-pulang kok diamuk? Hmm
Satu jam berlalu tiba-tiba Deno berkata,
“Fat gak makan?”
“Hah. Em (sambil gigit jari) yuk yuk aku lapar Den!” sangat polosnya ia berkata itu.
Semua makan malamnya disiapkan pembantu Deno yang sudah habis jadwalnya. Memang rumah itu sepi jam 8, karena pembantunya dan pengurus khusus Deno sudah pulang maka dari itu ia selalu makan malam sendiri bahkan ia jarang makan malam, tapi kali ini tidak, kan ada Fatimah.
“Ayo Fat dinikmati, diambil semua juga boleh kok!” kata Deno sambil bercanda.
“Haha huhu ayo kita makan bersama-sama!” dengan senang ia mengambil sendok nasi sambil menuangkannya ke piring mendadak ia berhenti.
“Loh kenapa bengong Fat. Ayo diambil terus makan bareng!”
“Emak dan bapakku di rumah makan apa ya Den, aku jadi gak tega kalau makan tanpa mereka.” Kata Fatimah sambil mengembalikaan sendok nasinya.
Serentak Deno terbangun mengapa ia sempat gak kepikiran orangtuanya bukan karena kesibukannya tapi mungkin karena Deno jengkel gak pernah di temeni makan malam. Mendengar ucapan Fatimah ia merenung dan berkata dalam hati (enak kalau di rumah Fatimah, ada orangtua, ada adik kakak laki-laki yang bisa diajak nggame kalau selesai belajar).
“Aha.. gimana kalau makanannya kita bawa ke rumahmu dan kita makan bersama di sana? Lagian aku juga sendiriran di rumah.” Kata Deno dengan ide gilanya tapi ia tampak semangat.
“Iya ide bagus itu emak dan bapakku kan sudah pulang, kakakku juga sudah pulang les, jadi pasti rame di rumahku. Tapi bawa-bawa makanan nanti kita disangka maling gimana Den? Lagian ini kan sudah malam.” Kata Fatimah
(srek srek srek) suara langkah tak asing lagi di telinga Deno, langkah berat yang biasa ia dengar saat larut malam ketika ia berbaring di tempat tidur kesayangannya.
“Ups.. mereka datang! Mama-Papa ku datang, cepet-cepet aku harus tidur. Kamu gak apa-apa kan tidur di sofa? Kalo belum tidur bakal kena semprot marah mereka nih.”
 “Assalamualaikum!” kata mama Deno dengan  suara lembut.
“Selamat malam Deno! Udah tidur nak?” kata papa Deno.
Mau gak dijawab nanti dosa, kalau dijawab pasti ditanya kenapa belum tidur? Kalau jawab nggame pasti dimarahi, kalo jawab belajar itu namanya bohong. Anak kecil sudah mikir panjang seperti itu, memang hal yang tidak biasa. Tiba-tiba Fatimah menjawab,
“Waalaikumsalam ibuk, selamat malam bapak.” Kata Fatimah gemeteran, gugup, dan takut (dengan panggilan ibuk dan bapak sama dengan tante dan om, ini bahasa yang biasa digunakan di kampung Kanjeng).
Serentak Deno kaget dan berkata dalam hati (aduh Fatimah gimana sih tu anak dibilangi apa gak takut kena marah mamaku apa?)
“Fatimah, kok di sini belum pulang, apa gak dicari emakmu nak?”
“Gak ibuk, Fatimah mau tidur sini aja deh, gakpapa kan buk?”
“Gakpapa, kamu tidur di kamar sebelah Deno aja ya? Tapi Deno kemana ya kok kamu gak nggame atau main petak umpet di rumah seperti biasa? Di kamar atau sudah tidur dia?”
“Huhu buk aku bingung jawab yang mana, pokok Deno tadi lari ke atas sana aku juga gak tau ibuk.”
Tiba-tiba Deno nongol dengan raut muka ketakutan dan berpikir yang tidak-tidak, layaknya kucing jatuh cinta datangnya emang tiba-tiba. Deno telah salah selama ini, dia pikir ibunya akan marah jika ia tidak tidur ketika larut malam, ternyata ibu Deno hanya bertanya padanya kenapa belum tidur dan apa saja yang dilakukan Deno ketika ia bersama Fatimah.
....
Fajar menampakkan sinarnya begitu cepat, alarm ayam telah berbunyi dengan kokokan merdu nan alami. Sehabis subuh  Fatimah perlahan mencari angin dari jendela kamar yang sedang ia tempati, ia ingin pamit pulang ternyataa di rumah hanya ada pembantu dan yang khusus merawat Deno, entah di mana orangtuanya setelah bertanya-tanya ia menebak kaalau orangtuanya sudah berangkat kerja. Perlahan pintu kamar terbuka, Deno datang,
“Kenapa, mau pulang? Pasti gak boleh sama mama Eti yang ngrawat aku itu, pasti suruh sarapan dulu, mandi, dll.”
“Aku nanti dimarahi ibuku Den, gimana kalau menyelinap lewat jendela ini?”
“Ide bagus Fat, tapi kita gak sekolah apa hari ini?”
“Berangkat dari rumahku aja, bawa peralatan semua terus langsung kita cabut, c’mon!”
“Oke oke, tapi kenapa kalau sama-sama menyelinap kayak maling, kemarin malem gak kemarin aja pulangnya?”
“Ah itu sendiri aku juga gak tau, kemarin gelap sekarang terang. Gitu aja deh jawabnya, cepet!”
Begitu dekat jarak rumah Deno dan Fatimah sedekat hubungan mereka sebagai sahabat yang seakan menjadi saudara. Diketuknya pintu dengan perlahan waktu menunjukkan pukul 05.00 tepat terlihat di dinding depan rumah.
“Emak....???”
“Emak....??!”
Dua kali ia memanggil baru terdengar dari belakang, ternyyata sang emak masih menyiapkan sarapan,
“Heh bocah kemana aja? Kalau gini langsung ke belakang aja kenapa, kan emak biasanya juga masak, cuci piring, udah repotlah, malah panggil-panggil. Ayo masuk! (serentak kaget) heh kamu bawa anak orang juga?”
“Dia cuma mau numpang mandi dan sarapan, berangkat sekolah bareng, nati sore pulang sekolah dia pulang kok mak.”
“Iya Deno?”
“Iya tante, Deno nanti pulang sekolah mau kembali ke rumah.” Katanya sambil gemeteran takut dimarahi.
“Oke masuk! Nanti sehabis sekolah langsung pulang ke rumahmu sana ya? (sambil menunjuk rumah Deno)  Biar Fatimah yang ngantar nanti, sekarang kamu mandi, soalnya di sini gantian.”
......
Bel pulang sekolah berbunyi. Mama-Papa Deno melihat jam tangan mereka masing-masing, seakan ingin cepat pulang karena ini hari ulang tahun Deno. Detik berjalan, menitpun berdetak, dan jam tanganpun berdering menunjukkan pukul 2 sore. Segera nyalakan Honda Jazz masing-masing. Mereka memasuki wilayah kampung Kanjeng, terlihat mama dari arah selatan dan papa dari arah timur. Saat menuju teras sudah disusul semua pembantunya, perawat khusus, dan supir. Mereka bilang Deno tak di rumah. Betapa kagetnya  Mama-Papa Deno.
Bukan jam yang bercerita, hanya menit yang berbicara dan mengantar mereka ke tempat tinggal Fatimah, yang memang hanya berjarak 1 km dari rumah Deno. Tak disangka dan tak diduga nyonya Belina memasuki kawasan yang penuh debu tapi tetap segar dikelilingi tanaman indah nan membentang, beberapa hektar yang selalu digarap para petani, serta tanaman-tanaman besar seperti lambang koperasi.
“Assalamualaikum” kata pak supir sambil mengetuk pintu rumah Fatimah.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatu. Ada yang bisa saya bantu?” kata ibu dari Fatimah.
“Em begini buk, maaf sebelumnya mengganggu ya? Saya orangtuanya Deno, apa Deno ada disini?”
“Oh silakan masuk nyonya, ada ada Deno ada di sini, di kamar bersama Fatimah, anak saya.”
Perlahan tangannya mendekat ke daun pintu kamar, dibukanya sedikit agar bisa mengintip. Deno memerankan seorang ayah yang bernama Dewana, itu adalah papanya dan Fatimah memerankan ibu yang bernama Belina, mereka merawat anak bersama yang bernama Deno, yang sebenarnya anaknya hanya sebatas boneka tedi bear, tapi itu cukup mewakili. Mereka hidup bahagia. Itu gambaran hati Deno selama ini.